Tulisan ini tampil dalam Kolom Opini Harian Kompas tanggal 24 Februari 2023, yang dapat diakses melalui tautan: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/02/22/salah-perspektif-dalam-solusi-pertanian-anak-muda-dan-teknologi-digital

Rentetan berita terkait permasalahan proyek-proyek pertanian berbasis anak muda dan teknologi digital beberapa bulan ke belakang ini, seperti yang dialami perusahaan rintisan TaniHub (Kompas.com, 12/12/2022), hingga yang terkait dengan program Petani Milenial yang diusung Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Kompas.com, 3/2/2023) menunjukkan lebih dari sekadar kegagalan teknis semata. Lebih mendasar, hal-hal ini mengindikasikan kesalahan paradigmatik–kesalahan dalam melihat pertanian di dalam struktur masyarakat yang lebih luas.

Anak-anak muda di perkotaan, khususnya, dihujani pemberitaan tentang beragam permasalahan pertanian, disertai narasi untuk menyelamatkan petani dan sektor pertanian meskipun seringkali tanpa pemahaman yang komprehensif tentang dinamika sosiologi pedesaan. Kita perlu menelaah kembali asumsi bahwa solusi bagi keterpurukan pertanian adalah dengan menggerakkan anak muda untuk menerapkan pertanian inovatif berbasis digital yang terhubung dengan sumber permodalan dan pasar yang terintegrasi.

Di dalam tulisan ini, saya menawarkan empat perspektif yang sepertinya luput untuk dipahami di dalam menjawab masalah pertanian di Indonesia tersebut.

Membangun perspektif yang tepat

Pertama, pertanian perlu dilihat lebih dari sekadar kegiatan teknis menghasilkan pangan, tetapi aktivitas yang melekat erat di masyarakat pedesaan dan lintas generasi. Anak-anak muda di pedesaan belajar bertani sedari dini dari orangtua mereka, terlibat secara aktif di lahan sawah/kebun dan mulai mengambil tanggung jawab sebagai bagian dari tenaga kerja pertanian selepas menyelesaikan jenjang sekolahnya.

Masyarakat pertanian juga memiliki cara sendiri dalam memahami kondisi ekologis lahan pertanian mereka melalui proses belajar yang panjang, bahkan turun-temurun—sesuatu yang kita kenal dengan istilah kearifan lokal. Melalui pemahaman atas kondisi ekosistem lokal ini, petani dapat menyesuaikan jenis-jenis komoditas apa yang dapat ditanam dengan cara-cara yang sesuai.

Lebih lanjut, masyarakat di pedesaan secara lebih luas juga berperan menjadi penyangga (buffer) dari risiko dan ketidakmenentuan yang dialami oleh petani sehingga dampak kegagalan panen atau fluktuasi harga dapat dimitigasi secara kolektif. Satu faktor kunci di dalam penyerapan risiko ini adalah ikatan kekeluargaan yang kuat di masyarakat pedesaan. Ketika anak-anak muda ditempatkan di lahan pertanian yang jauh dari kampung halamannya tanpa dibarengi oleh dukungan sosial tersebut, beban dari usaha pertanian akan menjadi terlalu besar untuk ditanggung oleh anak-anak muda ini.

Kedua, di dalam konteks masyarakat pertanian, tengkulak merupakan pelaku yang memiliki peran penting. Tengkulak membantu petani memasarkan produk-produk pertanian ke pasar yang lebih luas–sesuatu yang sulit bagi petani dengan akses pasar yang terbatas. Tidak jarang tengkulak membantu memberikan bantuan permodalan di awal bagi petani, dengan syarat pembelian hasil panen.

Meskipun demikian, hasil studi kami menunjukkan bahwa di banyak kasus, petani tetap memiliki kebebasan untuk memilih tengkulak mana yang akan dijadikan sebagai penghubung ke pasar bagi produk mereka. Di daerah sentra-sentra pertanian, seperti Lembang, Jawa Barat, tengkulak bersaing dalam menawarkan harga terbaik bagi petani.

Di sisi lain, tengkulak juga seringkali adalah keluarga, tetangga, dan anggota masyarakat di desa yang sama dengan petani. Beberapa dari mereka adalah tokoh masyarakat desa, atau awalnya petani yang telah mampu meningkatkan skala produksinya. Hal ini turut membangun ikatan sosial yang kuat antara tengkulak dan petani, dan pada akhirnya tengkulak juga berperan sebagai penyangga dari risiko kegagalan panen yang dialami petani.

Berbagai upaya untuk memutus keterikatan dengan tengkulak justru berujung kepada beralihnya peran tengkulak ke perusahaan offtaker, yang tidak memiliki ikatan yang sama dengan petani. Akibatnya, petani terjerat kembali dalam utang model baru yang sifatnya justru lebih kaku dan mengikat.

Ketiga, kita perlu berhenti mengglorifikasi anak muda sebagai agen perubahan dan sumber kreativitas. Realitas bahwa struktur masyarakat pertanian saat ini ditopang oleh petani di usia di atas 50 tahun, bahwa anak-anak muda semakin meninggalkan pertanian, dan bahwa regenerasi petani tidak terjadi, jelas merupakan fakta yang harus dihadapi. Meskipun demikian, solusi yang diambil bukan dengan membebani anak muda dengan label ”kreatif”.

Studi yang dilakukan oleh Sumberg dan Hunt, misalnya, menunjukkan bahwa anak-anak muda dapat menjadi kreatif selama didukung oleh lingkungan dan infrastruktur inovasi yang kuat, seperti di perguruan tinggi dan komunitas. Sendirian, anak-anak muda akan menghadapi masalah yang sama dengan orangtua mereka, atau bahkan lebih parah karena ketiadaan modal sosial yang mendukung.

Yang seharusnya didengar dari anak-anak muda di pedesaan adalah tantangan apa yang saat ini mereka hadapi (dengan akselerasi teknologi, dinamika pasar yang semakin tidak menentu, dan perubahan iklim). Selain itu juga apa yang mereka butuhkan untuk menghadapi hal itu di dalam membangun penghidupan rumah tangganya.

Keempat, teknologi semata tidak bisa menjawab permasalahan pertanian. Sejak dahulu, teknologi adalah bagian dari konstelasi kehidupan masyarakat pedesaan yang lebih luas. Teknologi didorong oleh nilai-nilai yang ada di masyarakat, dan masyarakat petani mengadopsi teknologi lewat proses panjang, sedemikian sehingga teknologi menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan sosial masyarakat.

Sejalan dengan industrialisasi (dan lebih khususnya sekarang dengan digitalisasi) pertanian, teknologi menjadi semakin asing bagi para petani. Teknologi digital ini belum sepenuhnya diuji secara teknis dan sosial di dalam masyarakat pertanian, dan risiko atas kegagalan teknologi ini tidak jarang harus ditanggung oleh petani skala kecil (gurem). Kerugian sekecil apa pun, bagi petani gurem, dapat menjadi penentu bagi hilangnya akses terhadap lahan dan sumber penghidupan mereka.

Rekomendasi

Lalu pendekatan seperti apa yang bisa diambil oleh pemerintah dan sektor swasta dalam menghadapi kompleksitas masyarakat pertanian kita ini? Saya mengusulkan beberapa langkah nyata.

Pertama, alih-alih mendorong anak-anak muda di kota untuk bertani di lahan-lahan sempit melalui bantuan modal perbankan dan offtaker industri, pemerintah dapat memberikan insentif bagi anak-anak muda lokal dari desa asalnya yang mau meneruskan usaha tani orangtua mereka. Ini dapat dilakukan melalui dukungan infrastruktur publik, pasar-pasar tradisional yang lebih mudah diakses, peningkatan daya kompetisi petani dan tengkulak, serta penguatan kelompok-kelompok tani di daerah.

Kedua, perusahaan rintisan (start up) dapat membangun kerja sama dengan petani dan tengkulak untuk membuka lebih banyak alternatif pasar bagi produk pertanian. Diversifikasi akses pemasaran membantu petani menghindari ketergantungan kepada pasar tunggal dan ”komoditas unggulan”, serta membantu petani memilih saluran pemasaran yang paling sesuai untuk mereka (preferensi petani tidak selalu berhubungan dengan harga, tetapi juga mempertimbangkan faktor seperti kualitas, kemudahan akses, dan skala penjualan). Fleksibilitas petani dalam memilih komoditas apa yang dapat ditanam dan saluran pemasaran mana yang memberikan tawaran yang paling sesuai menjadi faktor kunci di dalam membangun kemandirian dan martabat petani.

Ketiga, agaknya lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan perancang teknologi perlu mendengarkan apa yang sejatinya dibutuhkan oleh petani di daerah, termasuk inovasi yang telah berkembang dan sejalan dengan budaya masyarakat (di antara adalah Warung Ilmiah Lapangan), sebelum menawarkan teknologi-teknologi baru. Terakhir, pemerintah khususnya hendaknya menyasar ke masalah yang lebih fundamental: isu agraria dan akses petani terhadap lahan dan sumber daya pertanian yang semakin terbatas.