Tulisan ini tampil di Kolom Opini Harian Kompas tanggal 13 Januari 2023, yang dapat dibaca melalui tautan: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/11/mencari-peluru-perak-ketahanan-pangan-di-indonesia
Laporan Jurnalisme Data Kompas (9/12/2022) bertajuk ”Separuh Lebih Penduduk Tak Mampu Makan Bergizi” mempertegas bahwa ketahanan pangan tidak melulu soal produksi pertanian, tetapi juga soal akses dan daya beli masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, definisi ketahanan pangan bertumpu kepada tiga pilar, yaitu ketersediaan, keterjangkauan (sisi geografis maupun harga), dan kesesuaian. Sehingga, berbicara ketahanan pangan dari sisi produksi saja, tentu saja merupakan hal yang timpang.
Apabila kita membandingkan data tahun 2021 tentang produksi pertanian beberapa komoditas pangan strategis seperti beras, daging, ikan dan sayur mayur dengan data konsumsi pangan per kapita, maka akan terlihat bahwa produksi pangan di Indonesia jauh melebihi konsumsinya. Dari perbandingan itu, produksi pertanian Indonesia mencapai 1,5 sampai 2 kali lipat dari konsumsi. Dengan kata lain, di atas kertas, jika dilihat dari sisi produksi saja, Indonesia sudah bisa mencapai ketahanan pangan.
Sebaliknya, angka kerawanan pangan di beberapa daerah di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan data dari Badan Ketahanan pangan, Kementerian Pertanian tahun 2021, beberapa daerah di Papua dan Maluku Utara menempati urutan terendah dalam indeks ketahanan pangan, yang disebabkan oleh permasalahan keterjangkauan bahan pangan ke lokasi-lokasi tersebut. Kendati demikian, Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 juga melaporkan bahwa jumlah balita tengkes (stunting) terbanyak justru terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Banten, provinsi yang notabene didukung oleh infrastruktur yang memadai.
Fenomena ini menunjukkan ketahanan pangan merupakan isu yang kompleks, setidaknya tidak sesederhana untuk dijawab dengan sebatas meningkatkan produksi pertanian. Produksi pertanian secara masif dalam skema food estate, mungkin bisa mendorong keberlimpahan pangan dan berpotensi menurunkan harga pangan. Tetapi, selama skema logistik dan rantai pasok tidak dibenahi, harga pangan tetap akan menjulang tinggi setibanya di pelosok daerah.
Selain itu, meski biaya distribusi dapat ditekan karena infrastruktur yang membaik, daya beli masyarakat yang menurun tetap akan menjadi faktor bagi peningkatan risiko kerawanan pangan. Kenyataannya, di kota-kota metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, rumah tangga pra-sejahtera masih kesulitan mengakses bahan pangan yang sehat dan seimbang. Pertanyaannya, apabila food estate tidak bisa sepenuhnya menjawab masalah ketahanan pangan, lalu apakah ada solusi yang lebih tepat?
Menelaah ragam strategi pangan
Berbagai studi menunjukkan dalam kondisi yang mendukung, masyarakat memiliki strategi pemenuhan kebutuhan pangan secara lokal. Di dalam ranah sosiologi, kami menyebutnya dengan foodways. Di pedesaan, strategi pangan hampir selalu berhubungan dengan akses terhadap lahan. Di pedalaman Papua atau Kalimantan, misalnya, masyarakat secara berkala berburu di hutan atau laut untuk memperoleh sumber protein berkualitas. Di NTT, selain membudidayakan komoditas perkebunan seperti kopi, vanilli dan kacang mete, masyarakat juga bercocok tanam padi, jagung, dan kacang-kacangan secara subsisten untuk memenuhi kebutuhannya.
Dari praktik tersebut, masyarakat memiliki akses terhadap sumber-sumber karbohidrat dan protein nabati. Hal ini juga terlihat di pedesaan di Sumatera dan Jawa dengan skema pekarangan dan kebun campuran yang membantu penyediaan ragam pangan yang berkelanjutan. Di saat pasokan pangan bermasalah, seperti saat pandemi, kami menemukan bahwa masyarakat tetap bisa memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri. Selama kelompok masyarakat ini masih memiliki akses terhadap ruang-ruang produksi dan sumber pangan, maka ketahanan pangan tetap dapat terjaga.
Di daerah perkotaan, strategi pangan dibangun dengan cara yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh Poulsen dkk, seperti yang juga dikonfirmasi dari hasil studi kami, menemukan bahwa pemanfaatan lahan untuk pertanian kota tidak selalu bisa menjawab masalah penyediaan pangan berkualitas bagi masyarakat.
Bagi masyarakat kelompok ekonomi menengah ke bawah yang suami-istrinya dituntut untuk sama-sama bekerja, waktu untuk bercocok tanam adalah sebuah privilese yang jarang didapat. Bagi mereka, strategi pangan yang lebih tepat adalah melalui ruang-ruang transaksi yang sudah mengakar dalam kehidupan sosial mereka, seperti pasar tradisional, penjaja sayur keliling, dan warung makan.
Pasar tradisional menawarkan beragam bahan pangan dengan spektrum kualitas yang luas dan kesempatan bagi masyarakat untuk membangun kesepakatan atas harga dan kualitas. Warung makan di kawasan marjinal perkotaan menjadi penyokong bagi keluarga pra-sejahtera dalam mengakses makanan siap saji secara cepat dan mudah, melalui variasi kombinasi lauk pauk yang disesuaikan dengan naik-turunnya harga pangan di pasar. Kebun sayur di halaman rumah terkadang turut membantu, namun dalam pengamatan kami, strategi pangan itu hanya bagian kecil dari mekanisme yang lebih beragam.
Pembangunan yang mengurangi ruang pangan
Menjawab pertanyaan di awal tulisan ini, penting untuk menelaah secara kritis seberapa tepat langkah pemerintah dalam membangun ketahanan pangan di Indonesia. Kita belajar dari pengalaman lampau bahwa pembukaan lahan secara masif untuk produksi pangan berpotensi mencabut akses masyarakat lokal di pedesaan atas sumber daya alam dan lahan tempat mereka bergantung.
Pembangunan jalan, yang sejatinya digunakan untuk mempermudah distribusi pangan ke pedalaman, justru membuka akses bagi pengerukan sumber daya alam yang lebih besar keluar dari daerah, diiringi dengan masuknya produk-produk kemasan nir-gizi yang mengubah pola konsumsi masyarakat pedesaan dan menjadi faktor pendorong terjadinya stunting serta berbagai penyakit terkait kekurangan nutrisi pangan.
Di daerah perkotaan, pembangunan berpeluang menyebabkan apa yang dikenal dengan gurun pangan (food desert), sebuah kondisi yang menggambarkan akses terhadap tempat-tempat yang menyediakan makanan bergizi dengan harga terjangkau sangat terbatas. Studi ITB yang dilakukan di pinggiran Kota Bandung mendapati masyarakat di kawasan miskin yang terimpit hotel, restoran, dan perumahan mewah, mengalami fenomena gurun pangan lantaran warung terdekat dari rumah mereka hanya menjual makanan kemasan, dan pasar tradisional terdekat harus diakses menggunakan angkutan umum dengan biaya cukup tinggi. Lahan-lahan terbangun di sekitar mereka tidak memungkinkan dikembangkannya pertanian kota, dan semua ini mengurangi kapasitas mereka untuk membangun strategi pangan yang sesuai.
Sebaiknya kita perlu memahami bahwa tiap masyarakat memiliki cara-caranya sendiri dalam membangun ketahanan pangan lokal, menggunakan sumber daya yang ada, baik dalam wujud hutan, lahan, pasar, atau ikatan sosial. Pemerintah hendaknya mendorong terciptanya ruang gerak bagi masyarakat untuk membangun strategi pangannya sendiri. Meletakkan solusi pada megaproyek seperti food estate merupakan sebuah penyederhanaan masalah karena tidak ada peluru perak untuk masalah ketahanan pangan di Indonesia.