Ieu mah pacul nu abdi. Atos ti kapungkur di-anggé-na. Seukeutna tos pas. Nu saé mah diasahna gé ku taneuh. Gagangna gé tos raoseun, kanggo abdi mah. da kanggo Bapa mah bénten deui pacul nu saé nu kumaha téh, kedah dicobian nyalira..

Bagi siapapun yang berkecimpung di dunia penyuluh pertanian, teori difusi inovasi dari Everett Rogers tentunya tidak asing di telinga. Teori ini menjelaskan bahwa di dalam setiap pengenalan teknologi baru, akan ada kelompok yang menyikapi teknologi ini secara berbeda: para innovators (orang-orang mencoba teknologi ini untuk pertama kalinya dengan mengambil risiko kegagalan), early adopters (orang-orang yang mengadopsi teknologi di saat yang lain belum mau), early majorities (rombongan besar orang yang menggunakan teknologi setelah terlihat keberhasilannya), late majorities, dan laggards (mereka yang skeptis dan paling akhir akan mengadopsi, setelah semuanya menggunakan).

Kurva Difusi Inovasi (diambil dari Wikipedia, dari Rogers, 1962)

Sejak Rogers mempublikasikan teorinya di tahun 1962, berbagai studi agronomi dan teknologi pertanian telah menggunakan kerangka teori ini dalam memperkenalkan teknologi baru (khususnya di masa Revolusi Hijau), dan seiring dengan itu, kritik pun bermunculan. Di edisi ke-5 dari buku Diffusion of Innovations (2003) [1], Rogers mengintegrasikan kritik tersebut dalam satu bab tersendiri. Katanya, ada empat bentuk kritik atas teori ini. Saya coba refleksikan di dalam konteks pertanian.

Pertama, pro-innovation bias, terdapat pandangan yang salah bahwa semua inovasi pasti bermanfaat bagi petani. Teori difusi inovasi melihat bahwa pada prinsipnya, semua petani akan memperoleh manfaat dari teknologi baru, sehingga adopsi dari teknologi tersebut adalah keniscayaan – yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang lebih dulu mengadopsi. Kenyataannya, tidak semua petani melihat inovasi bermanfaat bagi mereka, dan ini menjadi faktor penting dalam sebaran pengadopsi teknologi.

Kritik kedua dan ketiga bersifat lebih teknis. Individual-blame bias melihat bahwa tidak diadopsinya suatu teknologi bukan sepenuhnya karena petani tidak mau mengadopsi; bisa jadi, karena penyuluh tidak menyampaikan informasinya dengan baik. Kritik ketiga, recall problem, melihat bahwa proses adopsi tidak terjadi di satu waktu spesifik. Petani bisa jadi lupa kapan dia mengadopsi teknologi tersebut – dan berpengaruh ketidakakuratan pemetaan waktu adopsi yang menjadi basis kurva difusi Rogers.

Keempat, inequality issue – bahwa adopsi suatu teknologi tidak serta merta disebabkan oleh keinginan. Seringkali, faktor akses terhadap teknologi tersebut, modal, pengetahuan, dan kelas sosial mempengaruhi seberapa cepat seseorang mengadopsi teknologi yang baru. Bisa jadi, beberapa petani kecil siap untuk mencoba teknologi baru, tapi uang untuk membeli teknologi tersebut terbatas. Bisa jadi juga, karena skala lahannya, bagi petani kecil, risikonya menjadi terlalu besar untuk mengadopsi teknologi baru dibandingkan untuk petani besar.

Lalu apa hubungannya dengan cangkul?

Sebagai sebuah bentuk teknologi klasik, cangkul memberikan ilustrasi atas satu lagi kritik terhadap teori difusi inovasi — kritik yang berasal dari science and technology study (STS), bahwa teknologi mewujud dari hubungan material-semiotik (simbolis) antara aktor manusia (pengguna) dan alat itu sendiri. Teknologi memiliki agensia, ia menggerakkan manusia untuk melakukan sesuatu. Ia lebih dari sekedar digunakan, tapi turut mempengaruhi cara manusia bersikap dan perilaku (ingat cerita pengendara Fortuner?). Tapi di sisi lain, teknologi juga dibentuk oleh pengguna. Saya akan cerita tentang ini lebih lanjut di bawah.

Kritik STS terhadap teori difusi inovasi adalah bahwa adopsi teknologi tidak pernah linier dan searah. Konteks sosial-budaya menjadi sangat menentukan. Pengalaman personal seseorang terhadap teknologi itu juga menjadi faktor. Satu studi yang secara apik menunjukkan ini adalah kisah Zimbabwe bush pump oleh de Laet dan Mol [2]. Zimbabwe bush pump adalah pompa air khusus yang diperkenalkan ke masyarakat di pelosok Zimbabwe yang kesulitan memperoleh air bersih. Ia adalah contoh dari sekian banyak pompa yang dicoba diperkenalkan, tapi yang paling berhasil diadopsi. Kunci keberhasilannya adalah desainnya yang kompatibel dengan budaya masyarakat di sana. Warnanya mensimbolisasi identitas mereka, cara penggunaannya yang harus dilakukan secara kolektif (menimba air bersama) diterima dengan baik dan menjadi sarana pengikat kebersamaan masyarakat. Komponennya yang sederhana mudah dimodifikasi membuat masyarakat lebih ‘dekat’ dengan pompa ini. Jadi, difusi inovasi tidak searah. Kesesuaian teknologi ini dengan keseharian masyarakat juga menentukan, terlepas dari efektivitas teknologi itu untuk menjawab tujuan: menimba air.

Kutipan dalam bahasa Sunda di awal tulisan ini diambil dari obrolan saya dengan Cece, salah satu petani senior, saat saya membeli cangkul dari toko bangunan. Cangkul, bagi petani, lebih dari sekedar teknologi. Ia adalah perpanjangan tangannya, bagian dari sarana produksinya, yang ia kenal dekat dan personal. Setiap kali seorang petani membeli cangkul baru, hal pertama yang dimodifikasi adalah gagang (doran)-nya. Tinggi, kemiringan, lekuk, ukuran, tekstur, dan berat gagang menentukan seberapa nyaman cangkul itu dipakai. Tidak semua kayu bisa dipakai sebagai doran. Yang mahal tentunya jati, tapi tidak jarang petani di sini memakai kayu surian – cukup ringan, tapi kuat.

Cece siap dengan pisau dan golok untuk meraut dan merampingkan gagang cangkulnya. Sesekali ia seimbangkan cangkul dengan tangannya, memastikan lokasi titik beratnya sesuai. Ampelas turut bekerja menghaluskan pegangan. Setelah selesai dengan gagangnya, pisau cangkul diasah dengan gerinda dan batu, hingga cukup tajam. Ini bisa dilakukan selama berjam-jam, mengurangi cm demi cm panjang cangkulnya. Tapi ia tidak puas. Katanya, cangkul yang terbaik adalah yang sudah dipakai bertahun-tahun (cangkul lamanya berusia lima tahun sudah), karena mata-nya semakin tajam semakin sering ia berbenturan dengan tanah dan batu. Bisa dibilang, cangkul mengakumulasikan pengalaman menjadi sebuah kearifan, laiknya petani itu sendiri.

Cangkul adalah simbolisasi bagaimana teknologi meresap di dalam keseharian masyarakat – ia tidak statis, tapi dibentuk, ditempa, dan diadaptasikan sesuai konteksnya. Teori difusi inovasi menjelaskan pola umum penerimaan masyarakat terhadap teknologi, dari sudut pandang (dan untuk kepentingan) penyedia teknologi. Tetapi pada kenyataannya, prosesnya jauh lebih kompleks. Hal ini menjelaskan mengapa bagi banyak penyuluh, sulit sekali memperkenalkan teknologi baru kepada petani. Sementara teori difusi inovasi mendorong penyuluh untuk mengidentifikasi local champion yang siap menjadi innovator, STS membantu memahami karakteristik dari teknologi itu dan sejauh mana ia bisa kompatibel dengan konteks sosial-budaya yang ada. Mungkin yang salah bukan petaninya, tapi teknologinya yang terlalu ‘keras kepala’ untuk diadaptasikan dalam keseharian mereka. Mungkin, masalahnya adalah cara pandang dalam melihat teknologi sebagai solusi, bukan sebagai sesuatu yang harus menyatu di dalam keseharian masyarakat. Ini yang menginspirasi saya menulis satu artikel bersama Jérémie Forney tentang digitalisasi dalam keseharian petani (everyday digitalization) [3], yang artikelnya dapat dibaca di sini.

Referensi:

[1] Rogers, E. (2003). Diffusion of innovations (5th ed.). New York: Free Press.

[2] De Laet, M., & Mol, A. (2000). The Zimbabwe bush pump: Mechanics of a fluid technology. Social studies of science 30(2): 225-263.

[3] Forney, J., & Dwiartama, A. (2022). The project, the everyday, and reflexivity in sociotechnical agri-food assemblages: proposing a conceptual model of digitalisation. Agriculture and Human Values 1-14.