Tulisan ini menjadi pengantar untuk bahasan yang lebih detail tentang akses dan kedaulatan lahan di Jurnal Analisis Sosial AKATIGA vol. 23 No.2 tahun 2019. Artikel spesifik tersebut bisa diunduh di sini. Baca juga artikel menarik lainnya di sana!

Hari ini saya merasa nostalgic. Saya ingat tiga puluh tahun yang lalu (saat saya berusia tujuh tahun, sila berhitung usia saya sekarang!), banyak sekali ruang-ruang di mana saya dan kawan-kawan bisa bermain kasti, layangan, boy-boyan, atau sepedaan tanpa harus merasa terancam oleh kendaraan atau usiran pemilik tanah. Tidak jarang orang tua saya mengingatkan untuk tidak berlarian di jalan raya mengejar layangan, karena entah darimana mobil bisa menyambar. Tapi mengejar layangan hingga ke jalan raya adalah versi ekstrim — biasanya, berlari dari lapangan menembus halaman rumah tetangga sudah cukup.

Saat ini, saya kesulitan mencari taman bermain untuk anak. Tentu, pemerintah kota menyediakan banyak ‘taman’ di Bandung, tapi apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk kota — dan kenyataan bahwa taman-taman ini berlokasi cukup jauh dari perumahan – sensasi bermain di ruang publik tidak lagi seperti dulu. Kota Bandung pun masih punya hutang yang besar dalam memenuhi 30% ruang terbuka hijau di rencana tata ruangnya.

Waktu sedikit lebih lambat di tepian Bandung, khususnya di sisi utara Dago, di mana saya berinteraksi dan menyusun catatan etnografi selama setidaknya enam tahun ke belakang. Meski begitu, fenomena serupa terjadi. Di dalam enam tahun ini, saya melihat sedikit demi sedikit ruang-ruang publik yang umum digunakan sebagai wahana ekspresi budaya dan interaksi sosial semakin tertutup. Lahan-lahan kosong milik ‘orang Jakarta’ yang biasanya bisa ‘dipinjam’ oleh warga, kini sudah mulai dibangun, atau dijual kepada pengembang, atau sepenuhnya ditutup. Saya menyaksikan proses negosiasi terjadi antara pemilik lahan dan warga lokal yang berupaya memperoleh ‘akses’ terhadap lahan tersebut – dari mulai ‘menjaga agar lahannya tetap bersih’, ‘mengangkat nama pemilik lahan sebagai pihak yang berjasa di masyarakat’, hingga sesederhana ‘meminjam’ lahan tanpa sepengetahuan pemilik yang entah ada di mana.

Cerita perjuangan akses yang terus menerus terjadi menggambarkan bahwa bagi beberapa orang, kedaulatan lahan bukanlah sesuatu yang permanen. Kepemilikan lahan adalah privilese – di tengah tekanan finansial dan desakan sosial, lahan mudah sekali beralih pemilik, terutama dalam alur satu arah ke pihak-pihak luar. Tapi, meminjam istilah Jesse Ribot dan Nancy Peluso, akses tidak selalu sama dengan kepemilikan.

Tulisan saya di Jurnal Analisis Sosial AKATIGA ini merefleksikan bagaimana akses dan kedaulatan lahan berkelindan dengan strategi masyarakat peri-urban untuk mencari ruang-ruang sosial dan budaya. Pendekatan ini sedikit berbeda dengan banyak narasi kedaulatan lahan yang berfokus pada wilayah pedesaan dan ruang-ruang penghidupan, di mana lahan dilihat sebagai faktor produksi di sektor pertanian. Di kota, isunya berbeda karena sumber penghasilan masyarakat umumnya ada di sektor jasa yang relatif tidak membutuhkan lahan luas — tapi bukan berarti bahwa ini meniadakan pentingnya akses terhadap lahan bagi masyarakat. Justru, tulisan ini (harapannya) memberikan insight tersendiri tentang maju mundur isu agraria di dalam konteks transisi desa dan kota.

Saya menghindari ‘peluru perak’ reforma agraria dan redistribusi lahan sebagai solusi bagi reproduksi ruang, meskipun saya sadar bahwa bagi banyak masyarakat pedesaan, solusi ini bersifat sangat mendesak. Sebaliknya, di kawasan di mana perseteruan antara lahan publik dan kepentingan privat terjadi, kemampuan masyarakat lokal bernegosiasi atas akses mereka terhadap lahan, seberapapun sementara, menjadi vital.

Ah, tapi, kalau kita kembali ke narasi awal dari tulisan ini, anak-anak punya keleluasaan dan privilese untuk tidak peduli – mendobrak batas-batas kaku ruang publik dan privat, berlari memanjat tembok real estate, bermain bola di lapang parkir, atau mengejar layangan di pinggir jalan. Ignorance is indeed bliss.

Tinggalkan Balasan