Di topik Stratifikasi Sosial di matakuliah Sosiologi Pertanian, saya biasanya mengajak mahasiswa keluar dari kelas dan bermain di lapangan. Metode permainannya sederhana: di tengah hari yang panas, saya mengajak mereka balap lari, dengan hadiah Teh Botol dingin menanti di garis Finish bagi yang tiba lebih dahulu. Tapi, lomba balap lari ini ada syarat dan ketentuannya. Saat semua berjajar di Garis Start sebelum berlari, saya menanyakan beberapa pertanyaan: Apakah kalian berasal dari kota? Apakah kedua orangtua kalian bekerja di kantor? Apakah kalian mengikuti bimbingan belajar saat SMA? Apakah kalian memiliki laptop? Apakah kalian memiliki kendaraan pribadi? Untuk setiap pertanyaan, mahasiswa yang menjawab Iya diberi kesempatan untuk maju selangkah. Di akhir pertanyaan, urutan start menjadi tidak sama. Yang tertinggal di belakang berupaya lari sekuat tenaga, tapi dari tahun ke tahun, pemenangnya selalu mereka yang berada paling depan di garis Start. Simulasi kelas ini bisa dibilang mencerminkan esensi dari buku The Meritocracy Trap, oleh Profesor Daniel Markovits dari Yale University, AS.

Daniel Markovits adalah seorang Profesor di salah satu fakultas hukum terbaik di dunia, yang ada di salah satu universitas terbaik di dunia juga. Meskipun ia bersekolah di sekolah publik (di Amerika Serikat, masyarakat kelas atas akan sekolah di sekolah swasta), Daniel mengakui bahwa ia juga memperoleh privilese karena dididik oleh kelas menengah berpendidikan, di mana kedua orang tuanya adalah akademisi.

Kenyataan bahwa dirinya sendiri berada di dalam keleluasaan kelas menengah tidak menghentikannya untuk memberikan kritik pedas pada sistem pendidikan dan sistem sosial kita yang begitu mengagungkan kompetisi dan prestasi. Buku yang ia tulis dan rilis menjelang akhir 2019 ini, The Meritocracy Trap, menjadi best-seller dan menuai perhatian dari berbagai kalangan – akademisi, ekonom, jurnalis, dan masyarakat umum.

The Meritocracy Trap bercerita tentang bagaimana sistem sosial kita bekerja di abad ke-21 ini. Merit didefinisikan sebagai kualitas tertentu pada diri seseorang yang membuatnya layak atau bernilai di masyarakat. Saya kesulitan mencari padanan katanya di bahasa Indonesia – pantas, patut? Meritocracy adalah sebuah sistem di mana kekuasaan diberikan pada orang-orang yang memiliki tingkat kelayakan tertentu berdasarkan prestasi, kompetensi dan kualitas baik di dalam dirinya. Jadi, secara sederhana, meritocracy melihat bahwa orang-orang yang bekerja keras lebih dari yang lain berhak untuk mendapatkan posisi dan kuasa yang lebih tinggi ketimbang orang lain.

Di negara-negara demokrasi nan kompetitif seperti Amerika Serikat, India dan Indonesia, nilai yang melekat pada meritocracy sudah menjadi norma umum —  sedemikian sehingga kita tidak pantas untuk mempertanyakan nilai ini secara kritis. Sejak kecil, kita diajarkan bahwa dunia ini adalah tempat kita berlomba untuk menjadi yang terbaik. Anak-anak diminta untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit, untuk berkompetisi secara sehat dengan rekan sejawat, untuk menjadi unggul di segala bidang. Kita diajarkan bahwa dunia adalah milik orang-orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh. Dari sekian juta anak-anak di Indonesia, hanya segelintir yang bisa masuk ke sekolah terbaik, dan lebih sedikit lagi yang bisa masuk universitas terbaik. Sistem ini dianggap sistem yang paling adil, karena setiap orang pada dasarnya dilihat setara, tapi mereka yang unggul (dalam ilmu pengetahuan, keterampilan professional, atau jenjang politk) akan naik derajatnya dibandingkan yang lain.

Daniel tentu tidak hanya bicara tentang sektor pendidikan. Meritocracy meresap di berbagai sektor di kehidupan masyarakat modern. Perusahaan-perusahaan menerapkan meritocracy di berbagai lini. Skema kerja berbasis insentif diberikan untuk para pegawai yang bisa menunjukkan performa yang lebih unggul. Di dalam model bisnis yang baru, para pegawai diminta untuk berkompetisi satu sama lain untuk memperoleh apresiasi lebih. Pemerintah menerapkan model ini untuk mendorong performa Aparatur Sipil Negara (ASN) dan menyaring pejabat publik yang kompeten dan ahli di bidangnya. Bahkan di sektor pertanian, petani-petani mulai dituntut untuk berkompetisi dan menunjukkan performa terbaiknya, menjadi local champions, untuk dapat memperoleh insentif dan dukungan lebih dari pemerintah.

Tidak ada yang secara mendasar salah dengan penghargaan pada kemampuan dan kualitas. Justru untuk banyak hal, meritocracy sangat diharapkan. Kita tidak ingin memiliki pemimpin yang tidak kompeten dalam mengatur urusan negara, tentunya khan? Kita ingin para pegawai di perusahaan kita bekerja dengan sungguh-sungguh dan menunjukkan performa terbaik untuk pertumbuhan perusahaan. Kita berharap generasi yang akan datang selalu lebih baik, berkualitas dan lebih kompeten daripada generasi kita. Hal yang menjadi masalah, menurut Daniel, adalah bahwa meritocracy tidak pernah sepenuhnya meritocracy. Untuk memahami ini, Daniel mengajak kita memahami lebih dahulu bagaimana sistem sosial sebelumnya bekerja.

Di masa-masa feodalisme, masyarakat bekerja di dalam sistem aristokrasi, di mana kekuasaan dipegang oleh kelas elite tertentu yang terlahir dengan status sosial yang lebih tinggi di masyarakat. Di sosiologi, kita mengenal ini sebagai ascribed status: raja dan ratu, bangsawan, ningrat, menak, darah biru. Apa yang mengiringi status sosial ini tentunya adalah aset, yang mensimbolisasi dan menguatkan status para bangsawan ini, sebut saja kerajaan, lahan yang luas dan loyalitas hamba sahayanya, yang menjadi ‘sumber investasi’ para aristokrat untuk menjalani hidup sesuai dengan tuntutan statusnya. Bahkan, dalam sistem demokrasi seperti sekarang ini, kita masih jamak melihat para aristokrat yang bisa menggunakan modal simbolis (symbolic capital) mereka, dalam istilah Pierre Bourdieu, untuk meraih suara di pemilihan kepala daerah atau mengembangkan bisnis mereka.

Sejak Revolusi Perancis dan berbagai gejolak yang terjadi di penjuru dunia (baik sebelum maupun setelahnya), masyarakat sadar bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk berusaha dengan tenaga dan pikirannya untuk meraih penghidupan yang lebih baik. Di Amerika Serikat, Deklarasi Kemerdekaan menyatakan bahwa setiap orang setara di mata hukum, dan tidak boleh ada yang menghalangi manusia atas kehidupan, kemerdekaan dan pencarian kebahagiaan.

“We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty and the pursuit of Happiness.” (Preamble, US Declaration of Independence, 1776)

Kembali ke Daniel Markovits. Menurutnya, di dalam konteks masyarakat modern, semangat untuk memperoleh hidup yang lebih baik bagi diri setiap orang dan anak cucunya diterjemahkan melalui re-investasi aset yang dimiliki (sebut saja, uang tabungan, tanah, atau rumah) ke pendidikan bagi keluarganya. Sumberdaya manusia (human capital) menjadi satu hal yang diperhitungkan di dalam sistem ekonomi ini. Meski bagi kita ini adalah hal yang wajar, kita perlu sadar bahwa di beberapa abad silam, masyarakat tidak bekerja seperti ini. Memang, para bangsawan dapat menggunakan privilese yang melekat pada mereka untuk bersekolah di universitas ternama, tapi bagi sebagian besar orang, pendidikan tinggi bukanlah sebuah pilihan. Petani akan selalu menjadi petani. Buruh pabrik yang bekerja di masa Revolusi Industri tidak akan memiliki cukup aset untuk bersekolah di universitas, dan tidak juga terpikir oleh mereka untuk itu, karena tidak ada gunanya bagi mereka: sistem kerja di pabrik tidak pernah memberikan mereka insentif lebih apabila mereka bisa memperoleh pendidikan lebih tinggi. Dalam istilah Karl Marx, buruh menjual tenaganya yang dihitung sebagai nilai rupiah per satuan waktu.

Generasi-generasi awal di dalam sistem meritocracy mungkin memang berjuang dari titik nol. Daniel mencontohkan para imigran yang datang ke Amerika Serikat tanpa apapun, tapi kemudian mengolah sumberdaya alam yang ada, membanting tulang, menangkap peluang, untuk bisa meraih sukses dalam hidup. Mereka kemudian menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah terbaik hingga tingkat tertinggi agar anak-anak mereka bisa hidup lebih baik lagi. Di Indonesia, sering sekali kita mendengar keluarga petani yang harus menjual kerbau atau lahannya agar anaknya bisa sekolah di universitas ternama di kota besar. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa hal seperti itu dimungkinkan untuk terjadi karena sistem di masyarakat kita mengizinkan setiap orang untuk mengenyam pendidikan tinggi selama mereka memiliki kapasitas (dan kapital) untuk itu.

Di sini poin yang menarik. Oleh karena gaya pendidikan kita mendorong kompetisi, proses mencari pendidikan terbaik membawa kita dalam pusaran meritocracy yang meniadakan esensi meritocracy itu sendiri. Generasi berikutnya dari para imigran, misalnya dalam kasus Daniel, berinvestasi lebih besar lagi di pendidikan anak-anaknya. Untuk bisa masuk ke perguruan tinggi terbaik, maka si anak harus sekolah di SMA terbaik, dan untuk itu harus bisa sekolah di SMP terbaik, dan seterusnya. Hal ini tidak hanya karena sekolah-sekolah tersebut berkualitas baik, tetapi juga karena sekolah tersebut diisi oleh anak-anak yang terus dipupuk oleh orangtua mereka dengan berbagai sumberdaya yang baik: buku, sumber informasi, fasilitas, bimbingan belajar, les privat, dsb., sedemikian sehingga suasana belajar yang terbangun jauh berbeda dengan sekolah kecil di pinggiran kota. Dengan tingginya kompetisi dan semakin meningkatnya populasi penduduk, proses ini terus bergeser ke jenjang usia yang semakin muda. Di masa saya kecil dulu, seingat saya, tidak ada istilah TK atau SD favorit.  Sekarang, anak saya harus bersaing dengan ratusan anak lainnya untuk bisa masuk ke TK favorit, bayangkan!

Di sini kalian mungkin sudah bisa memahami inti dari buku ini: meritocracy yang ada sekarang terjadi tidak hanya karena kemampuan dan kualitas anak, tetapi justru karena keluarga kelas menengah yang terlibat dalam pusaran ini telah memiliki keunggulan lebih dan titik mulai yang berbeda dengan keluarga kelas pekerja di perkotaan atau masyarakat miskin pedesaan. Studi yang dilakukan Daniel menunjukkan bahwa di AS, orang tua kelas ekonomi menengah ke bawah mengalami berbagai tekanan hidup (sebut saja: gaji yang kecil, tingkat perceraian yang tinggi), yang menyebabkan perhatian pada anak dan proses re-investasi di kualitas SDM tidak dapat terjadi secara optimal. Hal-hal ini  menyebabkan kelompok masyarakat tersebut semakin tersingkir dari pusaran kompetisi untuk ‘kehidupan yang lebih baik’. Di Indonesia, kita menyaksikan hal serupa.  Konsep kesetaraan perlu dipertanyakan: Ya, kita terlahir sama, tapi agaknya kita dibesarkan berbeda.

Konsep investasi untuk peningkatan kualitas diri yang dibahas di buku The Meritocracy Trap bukanlah hal baru. Michel Foucault, di dalam bukunya The Birth of Biopolitics (1979), bercerita tentang bagaimana sistem ekonomi pasar bebas yang bekerja di Amerika Serikat menyebabkan logika ekonomi meluas ke area di luar pasar: pendidikan, kehidupan rumah tangga dan hubungan sosial. Masih ingat di atas, kalau saya menyinggung tentang konsep tenaga kerja yang diusung oleh Marx? Menurut Foucault, ide bahwa yang dilakukan oleh pekerja adalah menukar tenaga kerjanya dengan upah, sudah tidak relevan di banyak lini pekerjaan saat ini. Kenyataan bahwa orang-orang bisa memperoleh pendapatan yang beragam (beberapa jauh lebih tinggi daripada yang lain) dapat dijelaskan apabila kita melihat manusia sebagai sebuah perusahaan (enterprise). Alih-alih melihat tenaga kerja sebagai modal, Foucault melihat manusia (dengan segala hal yang melekat di dirinya: tenaga, kecerdasan, keterampilan, dsb) sebagai sebuah unit usaha yang menginvestasikan modal (capital) pada dirinya sendiri untuk bisa memperoleh nilai tambah pendapatan. Ini yang Foucault maksud dengan biopolitics – bahwa bahkan tubuh kita telah menjadi objek ekonomi.

Daniel, di sisi lain, memberikan analisis yang lebih praktis (lagipula, bukunya adalah karya populer untuk konsumsi publik). Satu hal yang menjadi highlight dari The Meritocracy Trap adalah bahwa sistem meritocracy ini tidak hanya menyingkirkan masyarakat kelas bawah dari upaya ‘pencarian kebahagiaan’, tetapi juga memerangkap masyarakat kelas menengah yang masuk dalam pusaran tersebut. Begini ia menjelaskan. Kita paham bahwa kelas menengah, dengan segala privilese-nya, memiliki akses ke pendidikan yang lebih tinggi. Akan tetapi, karena persaingan juga semakin tinggi, anak-anak ini pun harus terus bekerja keras setiap saat. Tidak boleh ada kesalahan sedikitpun dalam hidup, katanya. Anak-anak ini harus terus mengukir prestasi tanpa cacat, karena ketika mereka lengah (misal: kalau mereka memutuskan untuk menikmati masa SMA dengan pacaran), anak-anak lain akan melaju lebih cepat dan mengambil peluang yang ada. Hal ini semakin parah terjadi di masa sekarang dibandingkan 20 tahun lalu. Daniel mengingat, dulu, beberapa orang yang tinggal di New Haven bisa berbincang dengan Rektor Yale untuk dapat diterima di universitas. Saat ini, seleksi masuk Yale dan kampus Ivy League lainnya begitu ketat sampai-sampai tingkat penerimaannya dapat menjadi sangat rendah (6,8% dari total pelamar di tahun 2018).

Perlombaan dan kerja berat ini tidak berhenti di universitas. Setelah lulus, generasi millenial ini akan bersaing dengan rekan sejawatnya untuk mendapatkan posisi kerja yang baik. Gaji mereka mungkin akan cukup tinggi, tapi beban kerja mereka juga begitu besar. Kalau kalian berpikir bahwa setelah bekerja, generasi ini bisa menikmati hidup yang lebih santai dengan upah besar, coba pikir lagi! Iklim kerja yang kompetitif menuntut pegawainya untuk selalu lebih produktif — pola ini diadopsi oleh perusahaan untuk mengantisipasi persaingan dari perusahan lain yang menerapkan iklim kerja yang sama. Generasi ini secara tidak sadar membawa model kerjanya dari kampus ke dunia profesional, bahkan tidak jarang memaksakan model kerja ini ke masyarakat kelas bawah (Daniel mencontohkan taksi online yang menerapkan pola meritocracy kepada  para pengemudinya, tanpa menyediakan jaminan-jaminan dasar tenaga kerja laiknya pegawai di kantor atau buruh di pabrik). Ini adalah konsekuensi logis dari Biopolitics. Kalau kita berinvestasi di lahan atau saham, kita bisa menikmati hidup sambil membiarkan uang (baca: orang lain) bekerja untuk kita. Tapi kalau kita berinvestasi di tubuh kita sendiri, tidak ada jalan lain selain terus bekerja dan produktif. Kesimpulan dari The Meritocracy Trap adalah bahwa sistem masyarakat seperti ini menjadi simalakama: ia menyingkirkan yang miskin dan memerangkap yang kaya (exclude the poor and ensnare the rich).

Apa solusi yang ditawarkan oleh Daniel? Satu hal, ia yakin bahwa sistem ini harus berubah dan membukakan kesempatan kepada lebih banyak orang, apapun kelasnya, untuk mengakses pendidikan dan diperlakukan setara dalam sistem ekonomi. Ia harus berubah sebelum mencapai tipping point; ia merujuk pada sejarah peradaban di mana berbagai sistem dengan ketimpangan sosial tinggi pada akhirnya kolaps menyusul penggulingan kekuasaan. Abad ke-21 mungkin sedikit berbeda karena satu hal, sebagaimana diilustrasikan oleh Daniel: orang-orang yang tersingkirkan dari sistem karena alasan di atas, kemudian dijejali narasi meritocracy (bahwa kegagalanmu adalah bagian dari ketidakmampuanmu untuk bersaing), hingga akhirnya masuk ke dalam keputusasaan dan kemarahan yang lebih dalam. Bara ini cukup ditiup oleh para demagogue untuk bertransformasi menjadi sebuah krisis sosial.

Pemerintah memiliki andil untuk memutus siklus ini. Saya bukan pakar pendidikan, tapi sepertinya masuk akal bahwa pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, perlu dapat dijangkau oleh setiap orang apapun kelas sosialnya. Dalam mengkritik sistem pendidikan di AS (dan mungkin juga berlaku untuk Indonesia), Daniel mendorong kampus-kampus besar untuk meningkatkan jumlah kursi untuk mahasiswa dan berhenti membangun eksklusivitas. Pemerintah perlu menyusun cara untuk menjamin pemerataan kualitas sekolah-sekolah publik. Di berbagai sektor yang tidak sepenuhnya berhubungan dengan pasar, pemerintah harus mengurangi skema merit-based ini dan lebih berfokus pada pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar (basic needs). Jadi, daripada memberikan subsidi untuk petani yang menunjukkan performa unggul, pemerintah mungkin bisa me-re-alokasikan anggaran untuk infrastruktur dasar dan fasilitas umum yang lebih baik. Atau, mungkin (sekali lagi, mungkin lho ya), pemerintah bisa memberikan bantuan sosial langsung bagi masyarakat ketimbang terjebak dengan sebatas memberikan skill set pencari kerja, yang nantinya akan semakin mendorong dunia kerja kita ke dalam pusaran meritocracy yang tak berujung.

 

 

Tinggalkan Balasan