Tulisan ini disiapkan untuk kegiatan Webinar yang diselenggarakan oleh Majalah Ganesha, PSIK dan Institut Sosial Humaniora Tiang Bendera di ITB, 22 Mei 2020.

Pendahuluan: Covid-19 dan kerapuhan sistem pangan modern

Susan Leigh Star, seorang sosiolog dari Amerika Serikat, pernah menulis, ‘krisis membukakan segala yang tersembunyi’. Di dalam studinya tentang ‘hal-hal membosankan’ (a study of boring things)[1], Star mengilustrasikan cara kita, masyarakat awam, melihat hal-hal seperti saluran drainase atau jaringan listrik yang seolah tenggelam di belakang hal lebih penting lainnya di keseharian kita. Hanya setelah datang kejadian luar biasa seperti banjir besar di Jakarta[2] atau mati lampu di pulau Jawa[3], baru kita sadar betapa sengkarut sistem-sistem yang menyokong kehidupan masyarakat. Sama halnya, pandemi Covid-19 membukakan mata kita tentang berbagai hal yang ringkih di sekitar kita – cara pemerintah menangani wabah, paradigma yang terus mendorong pertumbuhan ekonomi, dan, dalam konteks tulisan ini, sistem pangan yang begitu rapuh.

Wabah pandemi Covid-19 merebak di Wuhan di penghujung tahun 2019, dan setelah serangkaian peniadaan, Pemerintah Indonesia akhirnya ‘mengakui’ kasus Covid-19 pertama di negara ini di tanggal 12 Maret 2020. Berbagai kebijakan dan analisis dilempar di sana sini, dari mulai penanganan protokol kesehatan, pembatasan sosial sampai penanganan krisis ekonomi. Tidak lama, media beralih ke pemberitaan yang tidak kalah penting: krisis pangan. Berbagai laporan menunjukkan misalnya bagaimana petani kesulitan menjual hasil taninya karena pasar tidak lagi menyerap sebanyak biasanya, sementara di perkotaan harga-harga pangan melonjak di tengah Corona. Tirto memberitakan bahwa di bulan Mei, harga cabai di pasar di Jakarta mencapai Rp.50-50.000/kg, sementara di tingkat petani anjlok hingga Rp. 4-15 ribu/kg. Kejadian yang sama terjadi di jagung, ayam ras dan berbagai jenis sayuran[4]. Harian Kompas juga memberitakan bahwa komoditas pertanian seperti bawang putih langka di 31 provinsi, gula pasir di 30 provinsi, dan cabai besar di 23 provinsi[5]. Nilai tukar petani turun antara Januari dan Mei 2020. Sepertinya ada yang salah dengan rantai pasok pangan kita.

 

Ada banyak alasan mengapa ini terjadi. Untuk satu hal, secuplik dari rantai pangan kita bergantung pada industri Hotel, Restoran, Café (HoReCa). Asosiasi Agribinis Cabai Indonesia (AACI), misalnya, mencatat bahwa permintaan cabai di Jakarta turun dari 80-100 ton menjadi 20-25 ton per hari, sebagian besar disebabkan oleh tutupnya HoReCa[6]. Aktivitas ekspor dan impor juga menurun drastis. Harga gula yang melonjak hingga Rp. 19.000, berdasarkan penjelasan Asosiasi Gula Indonesia, disebabkan oleh menurunnya stok gula nasional mendekati panen raya tebu, ditambah terhambatnya impor gula yang sejatinya dapat menstabilkan harga[7]. Kalau dua hal ini belum cukup untuk memporakporandakan rantai pasok pangan di Indonesia, pembatasan waktu akses pasar tradisional serta akses keluar masuk daerah (baik secara formal, maupun secara informal karena kekhawatiran penyebaran penyakit), turut berkontribusi terhadap menurunnya daya serap pasar.

 

Kejadian ini tidak khas di Indonesia saja. Di Amerika Serikat, misalnya, 50% dari konsumsi pangan rumah tangga terjadi di luar rumah (via industri hotel, restoran, café  dan makanan siap saji)[8]. Saat Covid melanda dan pembatasan sosial besar-besaran terjadi, semua orang memutuskan untuk mengganti kebiasaan dengan makan di rumah. Sepeti di Indonesia, industri HoReCa di AS kolaps. Stok makanan di supermarket ludes. Usut punya usut, ini bukan karena orang-orang di Amerika sana punya perilaku menimbun. Mereka hanya mengalihkan konsumsi mereka dari luar rumah ke dalam rumah. Di saat yang sama, para petani juga kesulitan menjual hasil tani mereka, hingga mencapai titik di mana air susu sapi digelontorkan di selokan, sayur-sayuran dibuang, dan hewan-hewan ternak dieutanasia karena petani tidak sanggup memberi pakan mereka. Belum lagi di beberapa daerah, petani kesulitan memperoleh tenaga kerja akibat pembatasan sosial. Covid-19, bisa dbilang, melumpuhkan sistem pangan global di kedua sisi mata rantainya,

 

Profesor Philip McMichael[9], di tulisan singkatnya, menyampaikan bahwa apa yang terjadi dengan pandemi ini hanyalah mengungkap apa yang sebenarnya sudah rusak[10].  Sejak awal, sistem pangan global diwarnai oleh berbagai permasalahan seperti degradasi lingkungan, eksploitasi petani gurem, malnutrisi di banyak tempat di negara-negara berkembang, serta obesitas, diabetes dan penyakit tidak menular lainnya di negara- negara maju. Pandangannya juga diamini oleh banyak peneliti-peneliti pangan lainnya di media internasional seperti The Economist[11] dan The New York Times[12]. Konsep just-in-time supply chain yang mengedepankan efisiensi menjadi satu contoh. Di banyak negara maju, pangan dan produk-produk pertanian yang dijual di supermarket disediakan dalam jumlah yang terbatas untuk memastikan bahwa produk-produk ini dapat terserap oleh pasar dengan baik. Hal ini berimplikasi pada pangan berlebih yang harus dibuang sebagai sampah. Tapi rantai pasok efisien ini tidak sepenuhnya adaptif. Saat terjadi lonjakan permintaan, rantai pasok modern tidak sefleksibel itu untuk bisa mengalihkan oversuplai di satu sisi ke defisit di sisi lain. Saya ingat bagaimana sulitnya membantu teman-teman petani menjual berton-ton sayurnya yang gagal kirim ke Singapura (akibat Covid-19) untuk dapat diserap oleh pasar lokal yang terbatas.

 

Lalu apa yang bisa kita lakukan dengan ini semua?

Bermimpi tentang ketahanan dan kedaulatan pangan

Di tengah kegalauan ini, pemerintah dan masyarakat Indonesia berpaling ke konsepsi ketahanan dan kedaulatan pangan. Ini jelas bukan hal yang sederhana – tidak saja karena secara teknis, sulit untuk mencapai itu di dalam kondisi yang kita miliki sekarang, tetapi juga karena kedua konsep itu cukup kompleks dan membutuhkan pemahaman yang mendalam. Saya coba ulas lebih dulu tentang bagaimana pemerintah Indonesia memahami dua hal ini (dan satu lagi, kemandirian Pangan).

 

Di dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan (produk hukum yang bisa dibilang cukup ambisius), pangan didefinisikan sebagai ‘segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia…’ (Pasal 1 ayat 1). UU 18/2012 lalu membedakan tiga konsep di dalam penyelenggaran pangan, yaitu:

  1. kedaulatan pangan: hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumberdaya lokal (ayat 2)
  2. Kemandirian pangan: kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat (ayat 3)
  3. Ketahanan pangan: kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

 

Di media massa dan diskusi-diskusi publik (atau bahkan di pasal-pasal selanjutnya dari UU 18/2012), tiga konsep yang jelas berbeda ini seringkali dipertukarkan untuk menjelaskan hal yang sama: bahwa Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Di dalam diskursus yang lebih luas, masing-masing definisi mencerminkan pandangan yang berbeda tentang bagaimana kita membangun mimpi tentang pangan.

 

Di salah satu tulisan saya tentang ketahanan pangan[13], saya mengulas bahwa di tahun 1992 saja, telah didokumentasikan sekitar 200 definisi yang berbeda dari ketahanan pangan. Awalnya, ketahanan pangan dilihat sebagai sesuatu yang lebih dalam dari sekedar kecukupan kalori. Presiden AS Roosevelt menyinggung ketahanan pangan saat dia membahas tentang empat kemerdekaan esensial: merdeka untuk berpendapat, merdeka untuk berkeyakinan, merdeka dari ketakutan, dan merdeka dari kekurangan (termasuk kekurangan pangan). Tanpa yang satu, tidak akan tercapai yang lain. Dalam hal ini, Michael Carolan, seorang sosiolog pertanian dan pangan dari AS, merangkum bahwa ketahanan pangan perlu dilihat sebagai ketahanan (melalui) pangan, dan bukan sebatas ketahanan (atas) pangan[14]. Pengertian ketahanan pangan berganti sesuai dengan konteks dan paradigma yang ada di dunia saat itu. Di masa Revolusi Hijau, ketahanan pangan berarti sejauh mana suatu dunia bisa memproduksi pangan yang cukup bagi populasi penduduk dunia yang kian tumbuh. Dengan semakin terhubungnya masyarakat dunia di era globalisasi, pandangan dominan adalah bahwa ketahanan pangan akan dapat dicapai oleh perdagangan pangan global. Bagaimana tidak, sementara indeks ketahanan pangan menunjukkan bahwa negara yang memiliki ketahanan pangan tertinggi adalah Singapura, negara yang hampir tidak memiliki lahan pertanian dan mengandalkan pasokan pangannya dari perdagangan internasional. Coba lihat definisi ketahanan pangan: ketersediaan, akses dan utilitas (nutrisi, keamanan, kualitas) pangan – tidak dijelaskan darimana sebaiknya pangan itu berasal, selama ia selalu ada di atas piring kita.

 

Paradigma ini, dan serangkaian pertemuan dunia yang menyertainya di dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO), mengangkat pentingnya perdagangan bebas di dalam pemenuhan ketahanan pangan. Hal ini jelas dibantah oleh para advokat bagi jutaan petani gurem dunia yang semakin tergeser oleh liberalisasi, industrialisasi dan korporatisasi pertanian dan pangan. Sebagai bentuk counterhegemony, organisasi petani gurem dan masyarakat adat internasional, La Via Campesina, dibentuk di tahun 1993. Via Campesina memberikan kerangka baru di dalam diskursus tentang pangan yang lebih tegas (dan ideologis) dibandingkan ketahanan: Kedaulatan Pangan. Di dalam Deklarasi Nyeleni[15], kedaulatan pangan didefinisikan sebagai:

… hak masyarakat atas pangan yang sehat dan sesuai dengan budaya lokal, diproduksi melalui metode yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, dan hak mereka untuk menentukan sendiri sistem pertanian dan pangan mereka. [Kedaulatan pangan] menempatkan orang-orang yang menghasilkan, mendistribusikan, dan mengkonsumsi pangan sebagai inti dari sistem dan kebijakan pangan, ketimbang permintaan pasar dan perusahaan.[Kedaulatan pangan] membela kepentingan dan keterlibatan generasi yang akan datang, menawarkan strategi untuk melawan dan membongkar rezim pangan dan perdagangan gaya korporat saat ini, dan arah sistem pangan, pertanian, peternakan dan perikanan ditentukan oleh para produsen lokal. Kedaulatan pangan memprioritaskan ekonomi dan pasar lokal dan nasional, serta menguatkan pertanian yang didorong oleh petani gurem dan keluarga petani, nelayan, penggembala, dan produksi, distribusi dan konsumsi pangan yang berlandaskan keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan.

Definisi kedaulatan pangan yang diusung oleh Via Campesina terlihat lebih dalam dan kompleks. Meskipun begitu, kedaulatan pangan tidak luput dari kritik, terutama karena inoperabilitasnya. Kedaulatan pangan dalam konteks ini lebih tepat dilihat sebagai sebuah dialektika yang terbangun saat kita menyandingkan ketahanan pangan dan penghidupan para petani skala kecil yang terjepit oleh globalisasi pangan. Secara praktis, tidak banyak yang bisa dilakukan di dalam kedaulatan pangan selain melawan dan bergerak secara lokal. Konsep ini tidak ‘menjual’ bagi banyak pihak yang memimpikan dunia tanpa kelaparan.

 

Yang menarik adalah apa yang kita lihat di Indonesia. Sekalipun definisi kedaulatan pangan di UU 18/2012 terinspirasi dari food sovereignty, pelaksanaan di Indonesia jelas berbeda. Kedaulatan pangan di Indonesia bersumber dari pandangan untuk memberi makan ‘bangsa’. Tulisan Jeffrey Neilson dan Josephine Wright[16] secara lugas mengulas konsepsi kedaulatan pangan yang muncul sebagai konstruksi politik negara kita sejak zaman Sukarno hingga sekarang, dan terputus dari perkembangan diskursus global tentang hal yang sama. Sementara kedaulatan pangan di luar adalah ‘antitesis’ dari ketahanan pangan, di Indonesia kedaulatan pangan dan ketahanan pangan berdiri beriringan. Lebih tepatnya, kedaulatan pangan adalah perangkat retorik untuk membangun sentimen ketahanan pangan, yang kemudian diwujudkan melalui kemandirian pangan (tiga kombinasi ini terlihat jelas di UU 18/2012).

 

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan pandangan nasionalisme pangan seperti ini. Toh, Deklarasi Nyeleni juga menegaskan peran sistem pangan lokal dan nasional dalam membendung desakan sistem pangan global yang meresap ke tiap negara. Masalahnya, tidak jarang kedaulatan pangan diselewengkan untuk menjadi justifikasi ekonomi oleh pihak-pihak yang berkepentingan di dalam menarik perhatian masyarakat Indonesia. Industri kelapa sawit mungkin salah satu contoh nyata. Kita mungkin ingat bagaimana sentimen nasionalisme dibangun saat Greenpeace memboikot industri kelapa sawit lantaran praktik-praktik pengrusakan hutan, di mana anggota DPR merespons dengan berkata, “… itu pasti pesanan negara maju produsen minyak nabati yang kalah bersaing dengan sawit”[17]. Di titik ini, kita lupa bahwa industri kelapa sawit Indonesia juga turut mengusir masyarakat adat dan para petani gurem dari ruang-ruang hidup mereka[18].

 

Di akhir tulisan ini, saya ingin membahas tentang mimpi. Ada satu konsep tentang utopia pangan yang menjadi penggerak berbagai diskursus tentang penyelenggaraan pangan[19]. Utopia pangan bercerita tentang bagaimana cara kita bermimpi/membayangkan tentang masa depan pangan akan menentukan bagaimana sistem pangan mewujud di hadapan kita. Di awal abad ke-20, para pemikir bermimpi bahwa pangan akan berlimpah dan melampaui pertumbuhan penduduk dunia (ingat Malthus?), dan utopia ini mewujud melalui revolusi hijau dan modernisasi. Di awal abad ke-21, kita juga bermimpi tentang pertanian yang dibangun oleh teknologi (analog maupun digital). Di dalam penelitian yang tengah kami lakukan saat ini, mulai terlihat bagaimana digitalisasi pertanian juga berdampak pada marginalisasi yang lebih dalam dari petani gurem dan masyarakat lokal. Seperti yang ditulis oleh McCarthy dan Obidzinski, selama logika ekonomi global belum berubah, Indonesia akan selalu terjebak dalam penyelewengan makna kedaulatan pangan dan pemiskinan pangan yang lebih luas[20].

 

Jadi, pertanyaan saya sekarang: apa mimpi kalian tentang kedaulatan pangan?

Rujukan:

[1] Star, S. L. (1999). The ethnography of infrastructure. American behavioral scientist43(3), 377-391.

[2]https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/02/08404821/sejak-awal-2020-sudah-enam-kali-jakarta-kebanjiran-anies-diminta

[3] https://www.liputan6.com/news/read/4030228/mati-listrik-di-jakarta-dan-separuh-pulau-jawa

[4] https://tirto.id/nasib-buram-petani-dan-peternak-di-tengah-pandemi-covid-19-eNpo

 

[5]https://bebas.kompas.id/baca/riset/2020/05/06/produk-pangan-dalam-pusaran-pandemi-covid-19/?utm_source=bebasakses_kompasid&utm_medium=link_shared&utm_content=&utm_campaign=sharinglink

[6] https://tirto.id/nasib-buram-petani-dan-peternak-di-tengah-pandemi-covid-19-eNpo

[7]https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200430073430-92-498696/susah-payah-tekan-harga-gula-tanpa-impor?utm_source=twitter&utm_medium=oa&utm_content=cnnindonesia&utm_campaign=cmssocmed

[8]https://insideclimatenews.org/news/17042020/coronavirus-agriculture-supply-chain-grocery-store-farming

 

[9] Philip McMichael adalah Professor of Global Development di Cornell University, AS. Bersama koleganya, Hariett Friedman, beliau mengajukan teori Rezim Pangan di tahun 1989, yang telah menjadi landasan bagi berbagai analisis tentang sistem pangan global di dalam 30 tahun ini.

[10] https://www.isa-agrifood.com/post/covid-19-implications-on-our-broken-food-system

[11] https://www.economist.com/leaders/2020/05/09/the-global-food-supply-chain-is-passing-a-severe-test

[12] https://www.nytimes.com/2020/05/08/opinion/coronavirus-global-food-supply.html?smid=tw-share

 

[13] Dwiartama, A., & Piatti, C. (2016). Assembling local, assembling food security. Agriculture and human values33(1), 153-164.

 

[14] Saya tidak akan membahas ketahanan pangan terlalu dalam di sini, tapi coba baca tulisan saya di sini: https://dwiartama.wordpress.com/2016/09/26/%e2%80%8bmenelusuri-hakikat-ketahanan-pangan/

 

[15] https://nyeleni.org/spip.php?article290

 

[16] Neilson, J., & Wright, J. (2017). The state and food security discourses of Indonesia: feeding the bangsa. Geographical Research55(2), 131-143.

 

[17] https://nasional.kontan.co.id/news/dpr-sesalkan-aksi-greenpeace-duduki-tangki-sawit-wilmar

[18] Lihat misalnya tulisan Fat’hul Achamdi Abby tentang sengketa tanah adat dan HGU Perkebunan Sawit di sini: https://media.neliti.com/media/publications/225070-sengketa-pertanahan-hak-masyarakat-adat-470fb01e.pdf

[19] Stock, P. V., Carolan, M., & Rosin, C. (Eds.). (2015). Food utopias: reimagining citizenship, ethics and community. Routledge.

[20] McCarthy, J. F., & Obidzinski, K. (2017). Framing the food poverty question: Policy choices and livelihood consequences in Indonesia. Journal of Rural Studies54, 344-354.

 

Tinggalkan Balasan