Tulisan ini disiapkan sebagai bagian dari bunga rampai buku Islam dan Perubahan Sosial.

Pendahuluan

Apa yang salah dengan dunia ini?

Jika Anda termasuk orang-orang seperti saya, maka jawabannya: banyak. Kemiskinan, ketimpangan sosial, pengerukan sumberdaya alam, kerusakan lingkungan, pencemaran plastik di pesisir dan lautan lepas, instabilitas politik, dekadensi moral, hingga konflik antar masyarakat mewarnai kolom-kolom surat kabar. Jika Anda juga termasuk orang-orang seperti saya, wajar kiranya apabila Anda berpikir bahwa harus ada langkah-langkah perubahan yang perlu diambil, baik oleh diri sendiri ataupun oleh entitas yang lebih besar entah di mana. Seseorang mungkin bisa melihat bahwa perubahan ini haruslah mengakar — atau dalam bahasa bermuatan politis-nya, fundamental (foundation=dasar) dan radikal (radix=akar). Orang lain, di sisi lain, mungkin melihat bahwa perubahan ini masih bisa dicapai secara inkremental, dengan membelokkan haluan sedikit demi sedikit atau memperbaiki kerusakan tahap demi tahap. Banyak yang mengacungkan tangan untuk membela lingkungan hidup, yang lain untuk mengusung hak kaum marjinal, yang lain untuk memperbaiki moral bangsa. Dari mulai Grameen Bank di Bangladesh hingga gerakan Occupy Wall Street di Amerika Serikat, atau dari mulai gerakan pertanian organik hingga protes Green Peace terhadap pengerukan sumberdaya oleh korporat, perubahan didorong untuk terus terjadi di setiap sendi kehidupan dan dalam spektrum kedalaman yang berbeda.

Atau, Anda juga bisa jadi seperti mereka yang melihat bahwa tidak ada masalah di dunia ini. Toh, kita bisa menyaksikan zaman di mana kemajuan teknologi melebihi apa yang telah dicapai di beberapa abad ke belakang. Artificial intelligence, obat-obatan baru untuk mengobati kanker, laju mortalitas yang semakin menurun dan indeks pembangunan manusia yang senantiasa meningkat, teknologi yang ramah lingkungan, dan pemanfaatan sumberdaya yang semakin efisien memberikan gambaran utopia masa depan yang sama sekali berbeda. Tidak ada yang perlu diubah, cukup ditingkatkan dan disesuaikan dengan tantangan perkembangan zaman. Manusia telah melampaui beberapa bentuk peradaban hingga titik di mana manusia (humanity) semakin menuju kesempurnaan.  Masalah-masalah yang muncul belakangan hanyalah ekses dari keberhasilan peradaban, yang menyentuh segelintir saja populasi, dan dilihat semata pengorbanan bagi kebaikan yang lebih besar (the greater good).

Berbagai sudut pandang tentang dunia memberikan pemaknaan hidup yang berbeda-beda pula.  Dimana dan bagaimana seseorang dibesarkan, sejauh mana dia bersentuhan dengan getir yang ada di masyarakat, buku inspiratif apa yang dia baca, dan lingkungan sosial seperti apa yang menyulut semangatnya, akan sangat menentukan nilai-nilai yang tertanam di diri seseorang. Amartya Sen, peraih Nobel ekonomi 1998 melalui teori tentang welfare economy-nya, merupakan bagian dari kelas menengah berpendidikan di India yang terekspose oleh berbagai bentuk ketimpangan sosial sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mendalami konsepsi keadilan. Wangari Maathai, peraih Nobel perdamaian 2004 melalui upayanya merestorasi hutan di Kenya lewat pemberdayaan masyarakat, terinspirasi oleh gerakan reformasi pendidikan di masa kecilnya dan interaksinya dengan lingkungan hidup yang cukup intens. Banyak hal yang mendorong seseorang untuk menjadi agen untuk satu gerakan perubahan. Agama adalah satu di antara hal tersebut.

Lalu pertanyaannya: sejauh mana Islam sebagai rahmatan li’l aalamin mampu menggerakkan individu-individu untuk melakukan perubahan sosial? Dan perubahan seperti apa yang diharapkan oleh Islam? Dari awal saya sampaikan bahwa tulisan ini tidak bermaksud untuk mengulik masa-masa kejayaan peradaban Islam berabad-abad yang lalu. Tidak dalam kapasitas saya untuk memahami konteks perubahan seperti apa yang terjadi saat itu. Sebagai seorang peneliti sosial[2], minat dan pemahaman saya ada pada apa yang ada sekarang, tentang kompleksitas masalah dan kesadaran refleksif yang terbangun di saat manusia sadar bahwa pembangunan telah berputar balik memporakporandakan lingkungan hidup dan tatanan sosial yang kita miliki. Pertanyaan saya adalah, di mana semangat Islam di konstelasi kesadaran kolektif ini? Apakah Islam, sebagai sebuah cara pandang, melingkupi semua solusi bagi keresahan-keresahan yang ada? Apakah, sebagai contoh, Islam mendorong juga umatnya untuk menjadi pemelihara lingkungan, atau pejuang keadilan sosial, atau advokat ekonomi kerakyatan? Dan jika iya, mengapa nilai-nilai ini tidak pernah mewujud menjadi satu tatanan nilai yang menyeluruh di tubuh umatnya? Ataukah saya salah?

Proposisi yang saya tawarkan di tulisan ini adalah bahwa ‘semangat Islam’ mewujud dalam berbagai bentuk karena cara pandang Islam, pada kenyataannya, juga bisa diinterpretasikan secara berbeda (dan mungkin parsial). Yang saya maksud dengan semangat, atau mungkin ghirah, Islam, bukanlah tata aturan yang muncul sebagaimana tertulis secara tekstual di Al-Qur’an; tetapi internalisasi dari tata aturan tersebut di tubuh seorang muslim yang mendorongnya untuk melakukan perubahan. Saya coba ilustrasikan. Di Al-Qur’an, umat muslim diperintahkan untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi (QS Al-A’raf: 56). Secara tekstual, ayat ini menjadi larangan jelas, yang apabila dilanggar, maka konsekuensinya adalah dosa. Semua muslim, saya yakin, tahu itu. Tapi berapa banyak dari kita yang menginternalisasikan itu sebagai sebuah semangat untuk memelihara lingkungan. Secara anekdotal, sedikit saya temukan beberapa gerakan lingkungan hidup yang berangkat dari pesantren atau masjid — tapi tidak banyak saya kira. Selebihnya mungkin tetap berbisnis seperti biasa (business as usual).

Gerakan dan perubahan sosial: telaah sosiologis

Sebelum saya membahas lebih dalam tentang semangat Islam ini, saya coba ulas secara singkat apa itu gerakan sosial dan bagaimana ia mewujud. Anthony Giddens dalam bukunya The Constitution of Society (1984) menjelaskan tentang dua cara pandang dalam melihat masyarakat dan perubahan: struktur dan agensia. Dua entitas ini tak hentinya menjadi perdebatan panjang di tubuh sosiologi. Pendekatan struktural fungsionalisme seperti yang diusung Auguste Comte dan Emile Durkheim, atau struktural konflik yang dibawa Karl Marx dan Max Weber, keduanya memberikan penekanan pada peran struktur masyarakat dalam menentukan perilaku dari anggota masyarakat di dalamnya. Setiap individu dibentuk oleh tata nilai, sistem pendidikan, semangat kerja dan pandangan hidup yang diakui di masyarakat. Sementara struktural fungsionalisme menganggap bahwa tatanan masyarakat yang ada berevolusi menjadi lebih baik melalui perubahan-perubahan kolektif, struktural konflik melihat bahwa kunci dari perbaikan di masyarakat adalah perubahan-perubahan yang bersifat fundamental, yang muncul melalui konflik — thesis dan antithesis memunculkan sintesis. Di keduanya, tidak ada ruang bagi agensia perubahan di tingkat individu.

Kembali ke Giddens. Di dalam argumennya, struktur dan agen (individu) saling membangun satu sama lain, melalui sebuah proses yang ia sebut strukturasi. Di satu sisi, struktur membentuk individu-individu yang ada di masyarakat. Individu tidak memiliki pilihan yang tidak dibentuk oleh tata nilai yang sudah ada. Di sisi lain, individu tersebut dapat menjadi agen yang mereproduksi struktur sosial atau membuat perubahan di masyarakat. Struktur dan agen tidak lagi dilihat sebagai entitas yang terpisah, tetapi sebagai satu dualitas. Teori ini berhasil menginspirasi (atau menjadi justifikasi bagi) banyak akademisi dan aktivis untuk mengadvokasi perubahan sosial yang dibawa oleh agensia individu. Sebagai contoh, alih-alih bersikap antipati terhadap korporat, Yanuar Nugroho, di dalam bukunya Demokratisasi Kekuasaan Bisnis (2003), mengadvokasi dibangunnya perubahan di dalam kekuasaan bisnis melalui kekuatan demokratis masyarakat sebagai konsumen dan pemangku kepentingan.

Bill Friedland (1994), seorang peneliti sosial yang berkecimpung di kajian pertanian dan pangan, mengelaborasi lebih dalam implikasi dari agensia yang diusung Anthony Giddens. Setiap orang, pada dasarnya, bisa melakukan perubahan dalam spektrum tertentu. Friedland membangun rentang spektrum tersebut dalam tiga dimensi: agensia individu vs kolektif, spontan vs terorganisasi, dan menerima (accepting) vs menolak (resisting) hegemoni yang ada. Sebagai contoh, memilih menjadi konsumen produk organik, menurutnya, adalah sesuatu yang bersifat individual, spontan dan relatif tidak menentang hegemoni yang ada. Gerakan aksi lingkungan menanam pohon, di sisi lain, bersifat kolektif dan terorganisir (dalam titik tertentu), tetapi tetap menerima. Di sisi lain, aksi yang dibawa Serikat Petani Indonesia bersifat kolektif, terorganisir, dan menentang hegemoni neoliberalisme yang tumbuh.

Di dalam kajian tentang gerakan transformasi pertaniannya, Eric Holt-Gimenez (2011) memaparkan bahwa ada empat bentuk perubahan yang didorong oleh berbagai gerakan sosial di dunia, tergantung pada spektrum tingkat perubahan yang dihasilkan relatif terhadap sistem yang sudah ada. Kelompok konservatif cenderung tidak melakukan perubahan. Sebagaimana saya tulis di bagian awal tulisan ini, mereka adalah yang menganggap bahwa semua berjalan apa adanya tanpa perlu ada perubahan. Kelompok reformis melakukan perubahan dari dalam dengan tata aturan yang sudah ditetapkan oleh sistem.  Seperti di dalam sudut pandang struktural fungsionalisme, kelompok reformis melihat bahwa masalah yang muncul di dalam sistem perlu diperbaiki layaknya tubuh diobati dari penyakit. Penanganan-penanganan kuratif seperti memberikan sumbangan bagi yang membutuhkan menjadi ciri kelompok ini.

Kelompok progresif berupaya membawa gerakan perubahan yang mendasar tanpa terlalu banyak mengacak-acak sistem yang ada. Seringkali hasil dari aksi gerakan ini adalah perubahan yang terjadi di luar intervensi perangkat sistem, tapi tanpa merusak tatanan sistem tersebut, meskipun pada akhirnya sistem yang ada mungkin akan sedikit banyak terganggu. Sebagai contoh, gerakan organik muncul sebagai gerakan yang independen dari sistem pertanian konvensial yang sudah berjalan. Dalam jumlah sedikit, pertanian organik jelas tidak mengancam tata kelola dan tata niaga pertanian konvensional. Akan tetapi, seiring pertumbuhan organik, sistem harus merespons dengan mengubah struktur tata kelola dan tata niaga yang sudah ada.

Terakhir, kelompok radikal, yang melihat bahwa perubahan harus dibangun dari akar. Sistem yang ada harus diluluhlantakkan terlebih dahulu sebelum dapat dibangun sistem baru yang bersih, adil, atau berorientasi lingkungan.  Aksi-aksi protes mengecam perdagangan bebas, misalnya, tidak menawarkan perbaikan tambahan, tapi menuntut adanya sistem ekonomi yang sama sekali baru, apapun bentuknya. Wajar apabila kelompok radikal di satu sisi dilihat oleh pemerintah atau kekuasaan sebagai ancaman bagi sistem yang sudah ada, tapi di sisi lain dilihat oleh masyarakat umum tidak memberikan solusi nyata bagi permasalahan. Meskipun demikian, sudut pandang/ideologi yang dilempar oleh kelompok radikal tidak jarang menjadi antithesis yang berujung pada dihasilkannya sebuah sintesis untuk sistem yang lebih baik. Sebagai contoh, negara-negara Skandinavia belajar dari pergulatan dialektika tentang demokrasi dan komunisme melalui sistem pemerintahan sosialis yang memberikan lebih banyak manfaat bagi massa melalui program-program perlindungan sosial.

Rasanya bicara politik bisa saya cukupkan di sini. Mari kita kembali bahas tentang Islam.

Di mana letak semangat perubahan Islam?

Apabila kita kembali ke pertanyaan tentang Islam dan semangat perubahan sosial, saya ingin mengangkat diskursus bahwa Islam di masa sekarang sepertinya tidak memberikan hembusan semangat yang cukup untuk menggerakkan perubahan sosial, atau terlalu rancu untuk dipegang sebagai sebuah pandangan hidup yang ajeg. Tidak jarang Islam menjadi kendaraan, jika tidak bisa disebut semangat, di dalam sistem-sistem ekonomi yang kontradiktif, atau memberikan sebatas solusi-solusi kuratif  pada semangat yang bersifat fundamental. Di dalam model perubahan Holt-Gimenez, di mana kita bisa menempatkan semangat Islam? Islam bisa mempertahankan status quo karena kemanfaatan bagi masyarakat dianggap lebih terasa di dalam sistem yang berjalan sekarang ketimbang mudharat-nya. Ini mungkin pandangan yang jamak di antara umat muslim, entah karena memang seperti itu adanya, atau karena kita sebagai umat muslim belum bisa melihat bahwa masalah itu ada (lihat pengantar di paragraf kedua). Saya tidak berbicara tentang gerakan Islam dalam konteks ini.

Islam juga bisa berada di antara kelompok reformis yang berupaya memperbaiki sistem dari dalam, melalui tatanan dan perangkat yang ada. Bank Syariah, sebagai contoh, dalam pandangan dangkal saya adalah semangat Islam dalam wujudnya yang kuratif dan reformis. Lebih jauh lagi, program-program distribusi infaq dan shodaqoh, atau penyebaran daging hewan kurban, atau program rutin masjid, yang dijalankan dalam format business as usual, mungkin bisa menjadi contoh lain. Saya tidak mengatakan bahwa skema-skema ini tidak bermanfaat. Tidak. Saya memiliki keyakinan bahwa setiap bentuk kontribusi kita kepada sesama, apalagi yang dijalankan atas dasar kewajiban syari’at, pasti memiliki nilai penting di masyarakat. Beberapa studi yang saya lakukan (Dwiartama & Suheri, 2016) menunjukkan bahwa program seperti distribusi daging qurban dan shodaqoh berperan penting sebagai jejaring pengaman sosial milik komunitas dan membangun modal sosial yang kuat di masyarakat. Hanya saja, kita mungkin setuju bahwa untuk membangun peradaban umat yang kuat, kita butuh perubahan yang lebih dari itu.

Islam, lebih lanjut, juga bisa mewujud dalam kelompok progresif dengan menawarkan sesuatu yang berbeda, yang kontraintuitif dari sistem yang ada, untuk perubahan sosial. Contoh ini lebih jarang, tapi sekalinya ada memberikan dampak yang lebih besar dan menjadi inspirasi lebih banyak orang. Pondok Pesantren Al-Ittifaq di Ciwidey yang mengajarkan masyarakat petani bentuk ekonomi yang tidak konvensional, atau Yayasan Bumi Langit yang mengajarkan tamu-tamunya untuk hidup selaras dengan alam (Dwiartama, 2019), adalah dua di antara segelintir gerakan perubahan yang membawa nafas Islam. Gerakan bank sampah yang semakin berkembang di kota Bandung juga sedikit banyak dimotori oleh penggerak dengan semangat Islam; entah atas dasar dorongan nilai Islam atau karena kebetulan digerakkan oleh seorang muslim (penelitian lebih lanjut jelas perlu dilakukan).

Terakhir, Islam juga bisa mewujud sebagai sesuatu yang radikal. Ini sudah lebih banyak kita saksikan: kelompok Islam fundamentalis, atau puritan, atau kelompok-kelompok pembela Islam. Terlepas dari benar/salahnya interpretasi umat di kelompok ini tentang Islam (sebagaimana sering dibahas di berbagai media oleh banyak tokoh agama), harus diakui bahwa yang mendorong mereka untuk mengumandangkan takbir adalah semangat Islam. Radikalisme dalam hal ini seringkali dipeyorasikan oleh pemegang kekuasaan (seperti halnya gerakan radikal manapun yang berpotensi mengancam eksistensi tatanan yang ada), meskipun radikalisme bisa jadi bermanfaat (dan perlu dibedakan dengan terrorisme, misalnya).

Lebih lanjut, apabila kita menelusuri kategorisasi agensia versi Bill Friedland, kita juga bisa memilah yang mana di antara individu-individu dengan semangat Islam yang bergerak secara individu (misal: muslim taat yang berkontribusi bagi masyarakat di lingkungannya), kolektif spontan (misal: gerakan membela Islam 212), kolektif terorganisir (misal: Mesjid, pesantren, dan kelompok-kelompok pengajian), serta menerima sistem atau menolak sistem (misalnya antara Eco-pesantren Darut Tauhid dan Hizbut Tahrir Indonesia).

Poin yang ingin saya tegaskan adalah bahwa semangat Islam muncul dalam berbagai bentuk. Apa yang menyebabkan ini? Apakah ini karena semangat Islam bersifat amorphous dan mampu menyisip ke setiap ideologi dan cara pandang yang ada? Ataukah karena Islam begitu luas dan kompleks sehingga dapat diinternalisasikan secara berbeda, tergantung konteks dan latar belakang umatnya? Ataukah karena semangat Islam yang ditularkan di lingkaran-lingkaran umat ini tidak diimbangi dengan penyelarasan terhadap runutan logis dari masalah yang ada di masyarakat?

Penutup

Saya tergelitik untuk menutup tulisan ini dengan merenungi mengapa saya belum banyak menemukan gerakan perlindungan lingkungan hidup yang didorong oleh semangat Islam. Saya melihat dengan jelas bagaimana gerakan organik bisa kompatibel dengan nilai-nilai luhur Islam seperti kemuliaan bertani dan menjaga lingkungan. Saya juga melihat bagaimana gerakan pemberdayaan ekonomi kecil seperti yang dilakukan oleh Mohammad Yunus tumbuh sebagai pengejawantahan nilai-nilai komunalitas di dalam Islam. Saya bahkan bertemu langsung dengan koordinator Serikat Petani Indonesia (SPI), salah satu organisasi petani yang paling radikal dan keras terhadap neoliberalisme, dalam baju koko dan kopiahnya. Islam, bagi mereka, adalah bahasa untuk memperjuangkan keadilan, melawan tirani, atau hidup harmoni dengan alam. Apakah individu-individu pembuat perubahan ini sekadar ‘memanfaatkan’ Islam untuk kepentingan kolektifnya, atau apakah semangat Islam yang ditularkan memang pendorong utama bagi mereka untuk bergerak, saya tidak tahu dan tentunya membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Akan tetapi, agaknya menarik untuk menelaah bagaimana semangat Islam ini terbangun, terlepas dari seberapa parsial atau menyeluruh nilai-nilai dan tata aturan Islam berperan sebagai pendorongnya. Di akhir, saya membayangkan satu imaji di mana isu-isu masyarakat modern sekarang, seperti yang saya sebutkan di awal tulisan ini, dapat dijawab oleh gerakan-gerakan perubahan yang tidak hanya membawa semangat Islam, tetapi juga pendekatan dan runutan logika yang berlandaskan pandangan Islam juga. Akhir tulisan ini adalah pertanyaan terbuka: bagaimana semangat Islam dan logika Islam mewujud dalam gerakan-gerakan sosial baru yang mengarah pada perubahan yang positif? Wallahu ‘alam.

 

Daftar Pustaka

Dwiartama, A. (forthcoming). Pangan, Pertanian dan Islam. Jurnal SALMAN

Dwiartama, A. & Suheri, T. (2016). Youth, identity, and community resilience: an ethnographic record on a social transformation in the periurban of Bandung. Jurnal Analisis Sosial AKATIGA 20(1-2): 197-215.

Giddens, A. (1984). The construction of society. Cambridge: Polity.

Friedland, W. (1994). Agency and the Agrifood System. In Wright, W. & Middendorf, G. (Eds). The Fight Over Food: Producers, Consumers, and Activists Challenge the Global Food System. Pennsylvania State University Press.

Holt Giménez, E., & Shattuck, A. (2011). Food crises, food regimes and food movements: rumblings of reform or tides of transformation?. The Journal of peasant studies38(1), 109-144.

Nugroho, Y. (2003). Demokratisasi Kekuasaan Bisnis. Business Watch Indonesia.

[1] Pengajar di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Penulis dapat dihubungi di dwiartama@sith.itb.ac.id

[2] Lebih lanjut lagi, beberapa ilustrasi yang saya berikan tentang gerakan perubahan banyak mengambil dari bidang pertanian dan pangan, yang mana merupakan kompetensi keilmuan saya.

Tinggalkan Balasan