Para pemikir Yunani kuno, misalnya, membedakan dua bentuk hidup. Pertama, zoe, yaitu fakta sederhana kehidupan umum semua makhluk hidup, yang menunjukkan tanda-tanda hidup secara biologis, fisik dan material. Semuanya dikatakan “hidup”, karena memiliki “nyawa” dan menunjukkan gerak-gerik yang menandakan hidup secara biologis, fisik dan material, yang dibedakan dengan segala yang “mati” atau “tak bernyawa”. Kedua, bios, yaitu bentuk kehidupan yang layak, yang disebut juga “hidup yang baik” (good life), yaitu hidup yang dimuati dengan nilai, keyakinan, ideologi dan makna. “ (Orasi Ilmiah Prof. Yasraf Amir Piliang, hal. 5)

Pendahuluan

Kutipan dari orasi ilmiah Prof. Yasraf di atas menggugah saya untuk membuat satu tulisan tentang apa yang dimaknai sebagai hidup dan manusia di dalam kaca mata Biologi. Benar adanya bahwa definisi dari ‘hidup’ telah menjadi salah satu pertanyaan mendasar dari sejak masa pemikir Yunani kuno, bahkan hingga era sains Biologi modern saat ini. Jawaban-jawaban dilontarkan yang berangkat dari berbagai sudut pandang, sebagian dianggap tidak bisa diterima oleh sebagian yang lain. Biologi kini mungkin bisa dibilang merupakan disiplin ilmu utama yang secara saintifik memonopoli penjelasan tentang kehidupan. Di sisi lain, berusaha menjawab apa itu manusia menjadi tantangan yang lebih pelik lagi. Baik agama, sains maupun filsafat memiliki konsepsi yang berbeda mengenai apa itu manusia dan apa yang membedakannya dari makhluk hidup lainnya.

Agaknya, sulit untuk berefleksi dan mengambil jarak dalam mengungkap sesuatu yang mana kita tidak bisa lepas darinya. Meskipun demikian, di dalam tulisan ini, saya mencoba melihat bagaimana ilmu Biologi berkontribusi di dalam perdebatan panjang tentang kehidupan dan kemanusiaan. Tulisan ini tersusun atas tiga bagian. Di bagian pertama, saya mengulas beberapa pandangan tentang kehidupan di era sebelum sains Biologi memberikan penjelasan yang (hampir) afirmatif. Di bagian kedua, tulisan ini membahas tentang organisasi kehidupan, satu konsepsi yang dapat menjembatani definisi tentang hidup dan manusia. Bagian akhir memberikan ulasan tentang siapa itu manusia di dalam kacamata biologi. Sementara tulisan ini berupaya untuk mengakomodir berbagai sudut pandang, paradigma utama yang dipakai di dalam biologi tetap adalah materialisme dan evolusi Darwinian, di mana hidup dan manusia dilihat di dalam konstruksi fisik dan perkembangan evolutifnya. Hal ini semoga tidak membatasi di dalam membawa arah diskusi ke ranah metafisika yang lebih luas.

Tinjauan tentang kehidupan di masa sebelum sains

Apa yang membedakan batu, air dan api dengan tumbuhan, hewan dan manusia? Pertanyaan ini telah menghantui manusia mungkin sejak awal peradaban. Sudut pandang animisme, yang masih bisa dikatakan relevan di banyak kebudayaan di dunia, tidak selalu berarti penyembahan manusia pada benda-benda di sekitar kita. Lebih dalam lagi, sudut pandang ini melihat bahwa di dalam setiap benda yang ada di alam ini terdapat ‘jiwa’ yang juga memasuki tubuh manusia. Manusia adalah bagian kecil dari aliran ‘jiwa’ tersebut. Ibarat sungai yang mengalir dari mata air di pegunungan dan bermuara di laut, aliran energi mengalir dari sesuatu yang besar (gunung, sungai, lautan) ke setiap bentuk materi yang ada di muka bumi. Bagi masyarakat suku Maori di Selandia Baru misalnya, gunung dan sungai adalah bagian dari kehidupan yang membentuk identitas manusia. Kata ‘nenek moyang’ di dalam bahasa Maori adalah ‘tupuna’, yang di dalam akar katanya berbeda dengan ‘leluhur’, tetapi ‘bagian yang lebih besar di mana diri ini berasal’. Pandangan bahwa bumi dianggap sebagai satu kehidupan besar di mana manusia adalah bagian kecil darinya tertuang dalam teori Gaia (Saya tidak akan membahas ini lebih dalam, tetapi akan menyinggung sedikit di dalam bahasan tentang organisasi kehidupan).

Di dalam filsafat Yunani kuno, salah satu pemikir yang berupaya memadukan elemen inanimate dengan kehidupan adalah Empedocles, yang mengemukakan bahwa seluruh kehidupan di dunia ini tersusun oleh empat elemen dasar: api, air, tanah dan udara. Bentuk kehidupan yang berbeda merupakan kombinasi spesifik dari empat elemen tersebut, dan perubahan dari satu bentuk kehidupan ke kehidupan yang lain praktis adalah penyusunan ulang darinya. Hal ini juga mendasari teori lain tentang kehidupan yang disebut kemunculan spontan (spontaneous generation), di mana kehidupan dapat muncul dari benda mati selama kombinasi dari elemen-elemen dasar yang ada sesuai untuk itu. Cacing, oleh karenanya, muncul secara spontan dari kombinasi antara air dan tanah, dengan sedikit campuran api dan udara. Hal yang juga menarik dari pandangan ini adalah bahwa api dianggap sebagai materi, layaknya air, tanah dan udara. Ini mendasari satu teori kadaluwarsa yang bercerita tentang flogiston, satu unsur di udara yang ‘menghidupkan’ makhluk hidup dan membakar lainnya. Makhluk yang bernafas dilihat memasukkan dan mengeluarkan flogiston dari udara, dan kematian berarti lepasnya sebagian besar flogiston ke udara. Proses pembakaran juga menyebabkan hilangnya flogiston – udara yang sudah tidak lagi dapat dibakar dikatakan telah kehabisan elemen tersebut. Teori serupa juga dikaji di dalam vitalisme, yang melihat bahwa di setiap makhluk hidup terdapat ‘gaya hidup’ (elan vital) yang mengatur proses-proses kehidupannya dengan cara yang sama sekali berbeda dari benda mati.

Teori-teori di atas didasari juga oleh pandangan bahwa terdapat sesuatu yang bersifat non-material (jiwa) yang menghidupkan makhluk hidup dan membedakannya dari benda mati. Aristoteles, sebagai contoh, melihat bahwa semua yang ada di dunia ini terdiri atas bentuk (jiwa) dan materi (tubuh). Jiwa tidak bisa ada tanpa tubuh, tetapi jiwa pula yang memberikan bentuk dan karakter dari tubuh. Dalam hal ini, jiwa muncul dalam bentuk yang berbeda. Tumbuhan adalah bentuk paling sederhana dari kehidupan, di mana jiwa-nya menyebabkan tumbuhan untuk tumbuh, berkembang dan membusuk, meskipun jiwanya tidak menjadikannya bergerak. Hewan, di sisi lain, memiliki jiwa yang memungkinkannya untuk bergerak dan memiliki sensasi. Aristoteles kemudian berargumen bahwa manusia memiliki jiwa yang paling tinggi, yang tidak hanya memberikannya kemampuan untuk tumbuh, berkembang, bergerak dan merasakan, tetapi juga untuk berpikir dan berkesadaran.

Sementara berbagai pandangan tentang kehidupan ini tumbuh subur di masa Yunani kuno dan menjadi dasar bagi perkembangan filsafat dan sains di abad-abad berikutnya, justru di masa perkembangan sains di abad ke-17 hingga 19 pandangan-pandangan tersebut dipatahkan oleh sains itu sendiri. Francesco Redi (1668) dan Louis Pasteur (1859), misalnya, membantah teori kemunculan spontan melalui percobaannya tentang daging yang ditutup di dalam cawan dan proses desinfeksi. Sebelumnya dipercaya bahwa belatung muncul secara spontan dari daging yang membusuk. Dengan adanya temuan Redi dan Pasteur, teori kemunculan spontan ini terbantahkan, dan juga terbangun dasar bagi pengobatan medis yang lebih baik. Lavoisier, lebih lanjut, membantah teori flogiston melalui percobaannya dengan oksigen di dalam pembakaran dan oksidasi. Di luar itu semua, mungkin argumen yang mendasar atas berbagai sanggahan ini berangkat dari pandangan materialisme Rene Descartes, yang melihat bahwa makhluk hidup tidak lebih dari perpaduan komponen-komponen kecil (kemudian diketahui sebagai sel) yang bekerja secara harmonis layaknya roda gigi dan sekrup yang menyusun sebuah jam tangan. Lalu, bagaimanakah sains, dan dalam hal ini sains biologi, memandang hidup dan organisasi kehidupan?

Hidup dan organisasi kehidupan

Kehidupan memang tidak semata hanya dapat dijelaskan oleh disiplin ilmu biologi. Berbagai disiplin ilmu lain pun memiliki sudut pandang sendiri mengenai kehidupan. Di dalam fisika, misalnya, kehidupan dilihat sebagai suatu sistem termodinamis yang dibangun atas struktur molekul tertentu, yang dengannya mampu melakukan reproduksi. Di dalam disiplin ilmu kimia, sel hidup adalah suatu sistem kimiawi semi-tertutup yang mampu melakukan pengaturan diri. Kehidupan juga dapat dilihat sebagai suatu sistem dengan entropi negatif, seperti yang diajukan oleh Erwin Schrödinger. Di dalam resensi bukunya, What is Life?, yang saya baca, Schrödinger mengangkat hukum kedua thermodinamika yang mensyaratkan bahwa sistem yang tertutup cenderung menuju ketidakteraturan, atau entropi. Hal ini menjadi paradoks di dalam sistem hayati yang memiliki entropi rendah. Schrödinger berpendapat bahwa ini dapat dijelaskan karena sistem hayati (dan sistem biosfer) bukanlah sistem tertutup, dan oleh karenanya keteraturan yang tinggi di sistem hidup dan bumi ini dikompensasi oleh ketidakteraturan di sistem yang lebih luas. Saya akan berhenti di sini dan menyerahkan elaborasinya pada yang lebih berkompeten di bidangnya.

Saya, sebaliknya, ingin menarik kembali ini ke ranah Biologi, tidak hanya karena disiplin ilmu ini secara spesifik berbicara tentang makhluk hidup, tetapi juga karena penjelasannya tentang hidup dan organisasi kehidupan bisa dianggap cukup mendalam. Sebagai awal, Biologi memulai dengan suatu konsensus tentang karakteristik dari makhluk hidup. Di dalam buku biologi dasar dari Campbell (2008), misalnya, dijelaskan bahwa suatu makhluk hidup harus memiliki seluruh atau sebagian besar ciri-ciri berikut ini:

Ciri-ciri makhluk hidup yang paling utama adalah keteraturan dan organisasi. Makhluk hidup di dalam ilmu biologi disebut organisme (dari kata Yunani organon yang artinya perangkat), yaitu suatu struktur yang secara bersama mampu tumbuh dan bereproduksi. Organisme disusun atas sistem-sistem organ, yang disusun atas organ-organ, yang disusun atas jaringan-jaringan, yang disusun atas sel-sel. Sel, dalam hal ini, adalah unit terkecil dari kehidupan yang mampu, sebagai kesatuan, tumbuh dan memperbanyak diri. Di sisi lain, superorganisme didefinisikan sebagai kesatuan dari individu-individu organisme yang bekerja bersama dan ‘tumbuh’ seolah seperti layaknya organisme. Melihat definisi ini, menarik untuk meninjau adanya dua sudut pandang atas organisme, sebagaimana ditawarkan oleh Chunglin Kwa ketika membahas kompleksitas. Sudut pandang pertama memandang individu sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan di mana komponen-komponennya tidak dapat berdiri sendiri. Individu dilihat sebagai sebuah sistem. Sudut pandang kedua melihat individu sebagai kumpulan sel-sel yang bekerja bersama (dan ekosistem sebagai individu yang saling terhubung), sebagai sebuah table companion yang saling melengkapi. Individu, dalam hal ini, dilihat sebagai jejaring (network). Kedua pandangan ini, meski seolah kontradiktif, berjalan bersama di dalam disiplin ilmu biologi.

Satu kesamaan dari seluruh makhluk hidup di tingkat molecular terletak pada apa yang disebut DNA. Makhluk hidup membangun struktur tubuhnya dari protein-protein, baik secara langsung sebagai protein struktur maupun protein enzimatis yang membentuk struktur non-protein di tubuh (seperti tulang). Setiap protein merupakan kombinasi dari berbagai asam amino, yang dicetak oleh urutan kode gen tertentu di dalam DNA. DNA ini juga mengkode protein yang dapat membantu replikasi dari DNA itu sendiri, dan oleh karenanya secara fundamental mendasari kemampuan makhluk hidup dalam bereproduksi. Tidak ada makhluk hidup yang lepas dari mode organisasi ini. Bahkan virus, yang dikatakan sebagai transisi antara benda mati dan makhluk hidup, memiliki urutan DNA (atau RNA)-nya sendiri, meskipun hanya dapat bereplikasi apabila DNA-nya menyisip di dalam sel dan DNA makhluk hidup lainnya.

Seluruh ciri-ciri makhluk hidup di atas berujung pada kemampuannya untuk melakukan adaptasi evolusioner. Di dalam tulisan saya yang lalu di forum DISKURSUS ini, saya menjelaskan bahwa Biologi tidak bisa lepas dari paradigma evolusi Darwinian. Paradigma ini juga yang membentuk pandangan tentang apa yang dikatakan sebagai makhluk hidup. Suatu organisme tidak dapat dipisahkan dari garis ‘keturunan’-nya, yang berkembang melalui proses adaptasi dan evolusi dalam jangka yang panjang. Mesin pintar atau komputer saat ini mungkin mampu untuk beradaptasi, tetapi adaptasi evolusioner hanya terjadi pada makhluk hidup yang berada di jalur evolusi. Di dalam paradigma evolusi, tidak ada makhluk hidup yang muncul secara spontan – semua dirunut terus ke belakang hingga makhluk hidup sel tunggal yang muncul dari kombinasi molekul kompleks di dalam apa yang disebut ‘sup purba’. Teori abiogenesis berusaha menjawab kondisi lingkungan seperti apa yang memungkinkan terjadinya transisi dari molekul inorganik menjadi organik, dan dari molekul organik menjadi sel.

Adaptasi evolusioner menjelaskan bagaimana makhluk hidup kompleks yang ada sekarang berawal dari makhluk hidup yang jauh lebih sederhana. Sel-sel tunggal semula diperkirakan bersimbiosis satu sama lain; sel tunggal yang mampu mengkonversi energi matahari menjadi kimia, atau sel yang mampu memecah energi kimia yang satu menjadi lainnya, semula diperkirakan merupakan organisme yang terpisah. Organisme tersebut masuk ke dalam tubuh sel organisme yang lebih besar dan secara evolutif menjadi bagian dari organisme yang lebih besar tersebut – mereka menjadi organel sel. Bentuk primitif simbiosis mutualisme obligat (wajib ada) antara beberapa makhluk hidup dapat dilihat pada lumut kerak, yang merupakan kombinasi antara ganggang dan jamur. Saat individu semakin kompleks, seperti pada hewan dan manusia, tidak ada cara lain yang mampu dicerna oleh otak kita dalam melihat organisme ini selain dengan sudut pandang sistem – bahwa hewan dan manusia adalah satu kesatuan yang memiliki pusat pengaturan sentral. Hanya ketika seorang dokter membedah pasiennya, barulah individu tersebut dipandang sebagai kumpulan organ-organ yang saling terhubung.

Meskipun perkembangan sains telah mematahkan banyak pandangan tentang bagaimana kehidupan itu muncul, ia tetap tidak mampu menjawab sepenuhnya apa itu kehidupan. Sains dalam hal ini tidak mampu menembus ranah metafisika, sekalipun dasar-dasar di dalam paradigma biologi berupaya menegasikan tujuan tunggal dan bentuk mulia dari kehidupan. Paradigma evolusi Darwinian melihat bahwa tidak ada jiwa dan perkembangan menuju kesempurnaan di antara berbagai tingkatan makhluk hidup. Manusia tidak lebih baik dari hewan, dan hewan tidak lebih baik dari tumbuhan, meskipun organisasi kehidupannya mungkin lebih kompleks. Pendekatan ini membantah pernyataan bahwa bentuk (jiwa) menentukan tujuan dari materi (tubuh). Sebagai contoh, beruang kutub tidak berambut putih agar mampu berkamuflase di tengah salju, atau kupu-kupu memiliki bulatan di sayapnya untuk menakuti pemangsa. Sebaliknya, hewan-hewan tersebut mampu berkamuflase sebagai bentuk adaptasi perilaku atas kondisi morfologinya dan lingkungan yang ditempatinya. Cerita tentang dua ngengat dengan warna berbeda di kota London yang berkembang dilingkupi jelaga adalah bentuk paling sederhana dari adaptasi evolusioner makhluk hidup – pada kenyataannya, adaptasi evolusioner jauh lebih kompleks dan memakan waktu lebih lama.

Memandang dengan paradigma ini, maka arah tulisan saya mungkin menjadi semakin jelas terlihat di dalam menyikapi kutipan orasi ilmiah Pak Yasraf di atas. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memiliki keunggulan dibandingkan hewan dalam kaitannya dengan kemampuannya berpikir, berkesadaran dan mengekspresikan diri. Apa lagi yang menyebabkannya mampu mendominasi bumi ini hingga titik di mana kepunahan dari ribuan spesies makhluk hidup dan masa depan dari kehidupan di dunia ditentukan oleh tangan manusia? Hal yang menjadi titik kritis menurut saya bukan membantah kenyataan ini, tetapi melihat apakah the wonder of man ini terletak pada perbedaannya yang mendasar dengan makhluk hidup lain, sebagaimana disampaikan oleh Pak Yasraf – ataukah manusia hanya secara kebetulan memiliki morfologi yang mampu digunakan dalam beradaptasi terhadap lingkungannya dan membangun realita baru di atasnya.

Hidup dan manusia

Secara biologis, manusia tidak berbeda dari makhluk hidup yang lain, khususnya hewan. Manusia tidak lepas dari semua ciri-ciri makhluk hidup yang disampaikan di atas (zoe dalam tulisan Pak Yasraf). Fisiologi manusia serupa dengan mamalia – kita memiliki kelenjar mammae, menumbuhkan rambut dan berkembang biak secara vivipar (beranak). Secara fisiologis juga, manusia adalah makhluk yang sangat biasa. Kemampuan lari manusia jauh di bawah banyak mamalia lainnya seperti rusa, kuda atau singa, tetapi tidak juga kita selambat kukang dan kura-kura. Kemampuan pendengaran kita ada dalam rentang yang terbatas, demikian pula indra penciuman dan penglihatan kita. Ukuran tubuh manusia tidak cukup besar, tetapi juga tidak terlalu kecil sehingga lebih mudah untuk dimangsa. Rambut manusia jauh lebih tipis ketimbang rambut pada beruang atau kucing, sehingga manusia lebih tidak toleran terhadap kondisi dingin dibandingkan hewan lainnya. Secara evolutif, dibandingkan dengan banyak mamalia lain, manusia adalah organisme yang sangat lemah. Kemampuan fisik manusia sangat terbatas, meskipun dengannya manusia tetap mampu memangsa hewan lain sehingga ia tidak berada di dasar jaring-jaring makanan. Hal ini menarik untuk dilihat karena ‘produk terunggul’ dari evolusi, jika memang benar itu kita, tidak berasal dari organisme yang terkuat dan dominan, terbesar, ataupun tercepat.

Terlepas dari kesamaan dan ke-‘biasa’-an manusia, harus diakui bahwa manusia juga memiliki keunikan yang memungkinkan kita mampu melakukan hal-hal yang secara fisik tidak dapat dilakukan oleh hewan lain. Manusia dan keluarga primata memiliki ibu jari yang posisinya berhadapan dengan jari-jari lainnya (opposable thumb). Kondisi fisik ini memungkinkan primata untuk mencengkeram dan menggunakan alat secara lebih bebas dibandingkan hewan lainnya. Banyak penelitian menunjukkan bagaimana simpanse mampu menggunakan ranting untuk mengambil semut atau batu untuk memecahkan biji yang keras. Lebih lanjut, manusia memiliki tangan yang relatif lebih pendek dari kakinya dan postur tubuh yang memungkinkan dia untuk berjalan dengan dua kaki. Hal ini juga memberi keleluasaan bagi manusia untuk menggunakan tangannya secara lebih  bebas lagi untuk keperluan lain. Hal lain yang unik pada manusia adalah struktur pita suara dan lidahnya yang memungkinkan manusia untuk menghasilkan berbagai bentuk suara. Kemampuan suara kita tentunya tidak seindah burung, tetapi manusia mampu menghasilkan berbagai perpaduan fonem dan morfem yang menjadi dasar pembentukan bahasa. Berbeda dengan burung dan beberapa mamalia lainnya, kemampuan suara manusia tidak terbatas pada satu jenis kelamin saja, sehingga komunikasi yang sifatnya lebih mendasar daripada sekadar perilaku kawin dapat terbentuk. Kombinasi dari kondisi fisik ini setidaknya menjadi modal dasar bagi berkembangnya budaya peralatan dan penggunaan bahasa, yang mana keduanya unik pada manusia. Akan tetapi, mengapa kera yang juga menggunakan alat atau bahasa tidak berkembang sejauh kita?

Di banyak tulisan di dalam ranah biologi dan antropologi biologis, keunggulan manusia yang paling utama adalah di dalam otaknya. ukuran otaknya, relatif terhadap tubuhnya. Dari bukti-bukti fosil, diketahui bahwa ‘manusia purba’ seperti Australopithecus dan Pithecanthropus berjalan dengan dua kaki terlebih dahulu sebelum kemudian secara evolutif menunjukkan perbedaan di ukuran otak. Richard Dawkins, seorang ahli biologi yang terkenal melalui bukunya The Selfish Genes, berargumen bahwa kondisi tersebut secara bertahap memungkinkan otak manusia purba untuk membesar. Saat ini diketahui bahwa manusia memiliki rasio otak-tubuh (encephalization quotient) yang tertinggi. Meskipun demikian, beberapa jenis hewan seperti tikus tanah memiliki rasio yang tinggi pula, sekalipun hewan tersebut tidak menunjukkan kecerdasan yang tinggi. Beberapa ilmuwan kemudian mengajukan bahwa perbedaan di dalam kecerdasan tidak hanya diukur dari rasio tersebut, tetapi juga dari diferensiasi yang ada di dalam otak, jumlah sel-sel neuron yang ada dan kecepatan koneksi antar sel-sel neuron tersebut. Dalam hal ini, otak manusia masih yang paling unggul dibandingkan yang lainnya.

Otak manusia yang lebih kompleks berujung pada besarnya perbedaan antara manusia dan hewan. Jonathan Marks, seorang antropolog biologis misalnya, berargumen bahwa perbedaan mendasar antara manusia dan kera terletak pada kemampuan berpikir secara abstrak. Hewan mampu memiliki kekuatan mental material, i.e. yang membutuhkan kehadiran material di dalam pewujudannya. Bentuk kekuatan mental material meliputi sensasi, persepsi, selera dan imajinasi. Kapasitas ini berguna dalam merespons hal-hal khusus, atau particulars, seperti makanan, pemangsa dan rintangan. Manusia, sebaliknya, memiliki kemampuan untuk mengabstraksi sesuatu universal, yang tidak membutuhkan kehadiran material di dalam pewujudannya. Hewan dapat berpikir tentang lapar dan rasa sakit (sesuatu yang sifatnya material), tetapi mereka tidak dapat berpikir tentang konsep seperti ketidakadilan dan penderitaan (sesuatu yang bersifat immaterial). Perbedaan ini, oleh Marks, dilihat sebagai perbedaan yang bersifat kualitatif.

Otak manusia, dengan kombinasi pita suara dan lidahnya, juga mampu menghasilkan kata-kata yang tiada habisnya melalui kombinasi fonem dan morfem. Mark van Oostendorp, ahli linguistik, memaparkan bagaimana manusia bisa menghasilkan berbagai kombinasi bunyi yang berbeda secara jelas dari bunyi lainnya (bunyi yang tidak memiliki makna), kemudian memberikan makna terhadap bunyi-bunyi tersebut. Makna tersebut dipasangkan pada benda-benda yang ada di sekitarnya (batu, air, burung), tetapi juga pada konsep-konsep yang dikembangkan di dalam pikirannya. Rangkaian dari kata-kata baru dapat dipadupadankan secara tidak terbatas menjadi sebuah ide, dan ide tersebut ditransmisikan ke kelompok masyarakat lain atau generasi yang lebih muda secara kultural. Hal ini juga secara jelas membedakan perkembangan bahasa dan ide pada manusia dan hewan lainnya.

Kesimpulan

Ada setidaknya dua kesimpulan yang dapat ditarik dari tulisan ini. Yang pertama adalah bahwa manusia adalah makhluk hidup, sama halnya dengan organisme hidup yang lain (zoe). Ciri-ciri makhluk hidup melekat erat pada manusia sama halnya dengan tumbuhan dan hewan. Ini tidak pernah diperdebatkan bahkan oleh para filsuf sejak zaman dahulu. Hal yang mungkin berbeda di dalam kerangka biologi modern adalah bahwa sebagai makhluk hidup, manusia saling terhubung dengan organisme lain secara evolutif. Kesamaan dan perbedaan manusia terkait erat dengan hubungan kekerabatannya dengan makhluk hidup lainnya. Perbedaan ini tidak bersifat distinctive, tetapi continuous, atau kuantitatif. Manusia banyak berbeda dengan tumbuhan atau serangga, dan berbagi lebih banyak kesamaan dengan mamalia dan, lebih lagi, dengan primata.

Kesimpulan kedua terkait dengan perbedaan dan kesamaan tadi. Manusia tidak lebih unggul dari hewan lain dalam berbagai fitur spesifik, seperti kelincahan, kecepatan, kekuatan, indra penciuman, pendengaran dan penglihatan. Seperti halnya cheetah yang, dengan struktur fisiknya yang ergonomis, memiliki kapasitas unggul di dalam kelincahan, manusia memiliki struktur fisik yang membuatnya unggul di dalam kecerdasan, yaitu struktur otaknya. Kecerdasan manusia memungkinkan manusia untuk lulus hidup (survive) di dalam lingkungannya, sama halnya dengan kelincahan memungkinkan cheetah untuk lulus hidup. Dari tulisan ini, hal yang membedakan manusia dengan hewan pada akhirnya adalah sesuatu yang seolah sama sekali tidak berhubungan dengan kapasitas untuk lulus hidup. Kemampuan berpikir abstrak tidak memiliki kaitan langsung dengan hal-hal yang bersifat material. Kesadaran akan konsep keadilan tidak membantu manusia untuk lulus hidup melawan pemangsa atau menjadikan manusia mampu meraup sumberdaya alam untuk konsumsinya. Akan tetapi, agaknya kesadaran akan konsep immaterial inilah yang menjadikan kita manusia adanya – ini, dan kemampuan untuk mengkomunikasikan ini ke manusia yang lain dalam bahasa yang kompleks, dan dengannya konsep menjadi lebih kompleks lagi.

Pak Yasraf menegaskan bahwa yang membedakan manusia dan hewan adalah “hidup yang baik” (good life atau bios). Akan tetapi, abstraksi manusia dapat berujung pada nilai-nilai yang baik ataupun buruk, yang sedikit banyak menjadi pembenaran dan mengamplifikasi dorongan-dorongan hewaniah yang ada pada diri kita. Altruisme, kasih sayang dan ikatan komunal ada pada hewan seperti halnya pada manusia. Tetapi abstraksi immaterial membawa nilai-nilai tersebut ke ranah yang lebih universal. Sama halnya, kompetisi dan predasi dapat diamplifikasi melalui abstraksi universal manusia. Dalam hal ini, tidak ada yang buruk dan rendah dari hewan. Tetapi, kemampuan manusia untuk membawa nilai-nilai hewaniah ke ranah yang lebih tinggi, entah itu buruk ataupun baik, dan mengamplifikasinya di masyarakat yang lebih luas melalui bahasa, menurut saya adalah yang membedakan manusia dan hewan. Wallahu ‘alam.

Science no more says that I am an ape because my ancestors were, than it says that I am a slave because my ancestors were. The statement that you are your ancestors articulates a bio-political fact, not a biological fact.” – Jonathan Marks, 2015

Tinggalkan Balasan